Langsung ke konten utama

Kisah Sebuah Hadiah (2)


Ku pasang sepatu sehabis keluar dari lab dan bergegas menuju tempat berkumpul yakni di bawah tangga di depan kelas belajarku. Aku meyakinkan diriku, bahwa dia –lelaki baik itu– tidak akan ada disana. Mustahil, karena seingatku teman perempuanku yang terakhir tadi mengatakan ekstrakulikuler yang diikutinya mengadakan rapat untuk anggotanya dan si laki-laki itu termasuk. Ku coba menggali-gali ingatanku, kapan dan pukul berapa mereka akan rapat agar aku tidak bertemu dengannya. Sepertinya sekarang rapat mereka sedang berlangsung. Ya, mereka sedang rapat sekarang, ucapku yakin. Akan tetapi hatiku tidak sebegitu yakinnya dengan pikiranku, karena entah bagaimana tiba-tiba saja berdetak lebih kencang dari biasanya.
Kemudian, rasa ragu menggodaku. Bagaimana jika dia ada disana? Akan tetapi mereka seharusnya sedang rapat. Jadi, tidak ada alasan untuk itu. Ku mantapkan langkah untuk menyingkirkan pikiran-pikiran aneh ini.
Dari kejauhan terdengar suara pelatih debatku. Positif, aku terlambat. Ku ubah cara berjalanku menjadi sedikit berlari. Dan setibanya disana, memang pelatihku ada. Mereka, termasuk pelatihku, sedang duduk dan membahas sesuatu. Dan rasanya hatiku menyalahkan pikiranku yang dengan pasti menduga bahwa laki-laki itu tidak akan ada disana, dan disinilah dia. Agar lebih sopan, aku mengatur posisi dudukku di dekat pelatihku. Meski posisinya berjauhan dariku, hatiku berdetak lebih hebat dari sebelumnya. Bagai magnet saja, kurasa sedang terjadi tarik-menarik antara mataku dengan sosoknya. Seakan-akan dia bisa hilang setiap detiknya. Susah bagiku untuk memalingkan pandanganku darinya, dan dia sudah menyadari keberadaanku. Kulihat dia memundurkan posisi duduknya lebih merapat pada tembok sehingga tertutupi oleh tubuh teman disampingnya. Langkah cerdas, pujiku dalam hati. Meski begitu, tetap tidak bisa membuatku untuk tidak memikirkan laki-laki itu. Pelatihku menyakan teman-teman debatku, dan aku hanya bisa menjawab sekenanya saja, karena sesungguhnya semua perhatianku hanya tertuju pada si laki-laki itu. Bahkan, pelatihku ini semakin menjengkelkan saja. Mr. D bertanya apakah ia bisa mengantri untuk menjadi pendamping hidupku atau tidak –pemilihan kata ini terlalu buruk, bagiku– dan tanpa sadar aku menjawabnya persis dengan jawaban yang kuberikan pada laki-laki itu. Setelah sadar, ku coba untuk menatapnya, gagal. Tubuh temannya sangat strategis sehingga aku hanya bisa melihat kakinya yang terjulur saja.
Berat rasanya untuk meninggalkan forum kecil itu, akan tetapi aku harus pergi. Pergi kemana saja, agar sosok si laki-laki tidak memenuhi isi pikiranku. Kurasa tidak baik menyebut seseorang dengan sebutan “laki-laki” saja, nanti akan ada banyak sekali lelaki yang merasa dipermainkan dengan kisah ini. Dia mempunyai nama, akan tetapi aku tak sanggup menuliskannya. Bukan apa-apa, hanya saja dia tidak akan pernah membaca ini. Tidak akan. Baiklah, aku akan memberikan nama baru baginya, Kulkas. Kupikir ini nama yang lucu sekali, namun mewakili salah satu sifatnya yang kadang kusukai dan kadang tidak.
Musholla merupakan pilihan terbaikku saat ini untuk dituju. Mudah-mudahan saja ada kenalanku disana. Dalam perjalanan –sekolahku cukup luas, tidak heran jarak satu tempat dan tempat lainnya membutuhkan waktu tidak sedikit– lagi-lagi sosok Kulkas memasuki pikiranku. Mengapa ia memundurkan posisinya ketika mengetahui aku datang dan berkumpul dengan pelatihku? Merasa terganggukah ia dengan adanya aku disana? Pertanyaan-pertanyaan yang tak bisa kujawab pasti kubiarkan memenuhi pikiranku.
Ternyata tidak ada satupun orang yang kukenal di musholla. Aku pun kembali berjalan menuju ke bawah tangga tadi.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Save KRS Online

Yak, balik lagi untuk postingan tips dan trik. Karena berkaca dari pengalaman pribadi yang panik ga bisa save KRS. Sedangkan kuota untuk buka KRS lagi untuk diprint itu nggak ada. Okay, sila dibaca tutorial berikut ini.

Surel dari Murai (1)

       Zara POV Beberapa hari belakangan ini aku merasa bosan. Buku maupun ebook beberapa sudah kutamatkan. Tapi masih terasa sepi dan jenuh sekali. Harus ada aktivitas baru. Iseng kubuka email khusus korespondensi. Ternyata ada surel dari Murai masuk. Hampir sekitar sebulan lebih kami tidak pernah berkomunikasi. Entah aku yang terlalu sibuk atau mungkin dia juga sedang sibuk dengan aktivitas barunya mengajar anak-anak. Yah, intinya aku tidak ingin menyalahkan siapa pun atas berjaraknya pertemanan ini.

Surat untuk Murai (2)

(Dari Zara untuk Murai) Menulis balasan untuk Ai ternyata tidak semudah itu. Menuangkan dan menata ulang isi pikiran juga tidak gampang, tapi bukan sesuatu yang mustahil. Kuberanikan diri membalas e-mail Ai yang sudah berapa bulan ini tak tersentuh. Harapanku, semoga Ai mau membacanya. Kalau mode berbicara aku berharap Ai mau mendengarkan. Aku terbuka untuk solusi atau sekedar balasan simpati. Sebagai tanda bahwa tulisanku didengar olehnya. ______