Langsung ke konten utama

Surel dari Murai (1)

     

Zara POV

Beberapa hari belakangan ini aku merasa bosan. Buku maupun ebook beberapa sudah kutamatkan. Tapi masih terasa sepi dan jenuh sekali. Harus ada aktivitas baru. Iseng kubuka email khusus korespondensi. Ternyata ada surel dari Murai masuk. Hampir sekitar sebulan lebih kami tidak pernah berkomunikasi. Entah aku yang terlalu sibuk atau mungkin dia juga sedang sibuk dengan aktivitas barunya mengajar anak-anak. Yah, intinya aku tidak ingin menyalahkan siapa pun atas berjaraknya pertemanan ini.

Mungkin kalian bertanya-tanya, di jaman yang sudah canggih ini kenapa aku masih menggunakan surel untuk menghubungi temanku? Bukankah WhatsApp lebih cepat? Entahlah. Aku bertemu dengannya di dunia maya. Lebih tepatnya kami mengomentari blog seseorang dan berakhir saling bertukar e-mail. Sampai saat ini pun Murai tidak pernah menanyakan alamat rumahku ataupun nomor teleponku. Melihat dia yang seperti itu, membuatku menahan diri juga untuk tidak menanyakan hal yang sama. Kami membicarakan banyak hal, baik itu masalah pribadi atau hal lainnya. Hanya saja tidak pernah membahas identitas masing-masing.

 

Hai, Ra!

Maaf sudah lama tidak mengabarimu. Ada satu kisah yang belum pernah kuceritakan padamu, Ra, sampai aku sendiri sudah merasa baik-baik saja tentang hal itu. Kegagalan yang mengawali hari baru, kalau boleh kukatakan.

Hari itu gelisah yang belum pernah kurasakan muncul. Sedari dulu aku bisa dikatakan berupaya untuk menghindari hal-hal yang melibatkan banyak orang. Saat aku sakit yang beberapa bulan lalu kutanyakan padamu itu, sejujurnya aku tidak berani memberitahu orang tuaku atau bahkan kakakku. Alasannya aku tidak ingin membuat mereka cemas atau bahkan merepotkan mereka. Tapi cerita kali ini beda, Ra. Mereka harus tau.

Sekitar bulan Agustus, aku berkenalan dengan seseorang untuk tujuan menikah. Ya, menikah, Ra! Sesuatu yang bagiku merupakan hal yang hampir tidak pernah terpikirkan. Pernah terpikirkan tapi belum pernah seserius ini. Dan perkara ini mustahil kusimpan sendiri. Ada izin orang tua yang harus kukantongi. Dan ya, aku membicarakan ini dengan ibuku dulu. Beliau mengiyakan untuk mencoba berkenalan dengan laki-laki itu.

Singkat cerita, Ra, aku ingin melanjutkan prosesnya. Visi misi kami sama. Karakter kami berbeda meski tidak terlalu berlawanan. Hanya saja kondisi tempat tinggal nanti yang masih menjadi persoalan. Selain dari itu, aku memilihnya, Ra. Sempat terbersit sebenarnya, apa terlalu cepat ya aku menjatuhkan pilihan padanya? Tidak melihat yang lain dulu?

Sayang seribu sayang. Aku masih belum mendapatkan lampu hijau dari bapak, Ra. Bapak menginginkan agar kakak dulu yang melaju ke pelaminan, bukan aku. Bapak juga kurang sreg dengan pekerjaan laki-laki itu yang belum tetap. Aku minta bapak untuk bertemu dengannya sekali saja, bapak menolak.

Kira-kira bagaimana perasaanku saat itu, Ra? Bisakah kamu membayangkannya?

Aku kesal. Aku kecewa. Aku bahkan sempat merasa repotnya menjadi perempuan yang harus meminta izin dari walinya. Tidak bisa bergerak bebas. Ya, aku tau ini bisikan setan. Tapi itulah yang kupikirkan. Seolah ada tembok besar menghalang di depanku. Aku marah. Dan juga sedih. Semuanya bercampur jadi satu sampai sulit sekali rasanya kujelaskan.

Hanya saja dia, laki-laki itu, -maaf namanya tidak ingin kusebut- sudah menekankan dari awal. No hard feeling. Sebelum dia tekankan juga, nothing to lose selalu kutanam dalam kepalaku selama proses perkenalan itu berlangsung. Dan memang tidak ada perasaan sama sekali, Ra. Meskipun sudah bertemu. Kesan yang kudapatkan justru asing. Semua perasaan campur aduk tadi tertuju pada bapak, bukan dia. Dan ketika kubulatkan niat untuk menolak kelanjutan proses pun dia menjawab dengan ringan kurasa, “Ok, tidak apa-apa.”

Beberapa hari pasca kegagalan itu, aku merasa malu. Malu karena belum mempersiapkan segalanya dengan matang. Malu karena betapa butanya aku dengan persiapan. Malu sekali. Ingin rasanya menghilang dari bumi. Dan beberapa kali terlewat di kepalaku, kira-kira apa yang dia pikirkan tentangku ya? Walau aku tau ini pikiran konyol, tapi tetap saja terlintas, Ra.

Terus begitu sampai berlalu satu bulan. Dan perasaan canggung itu masih ada untukku, Ra. Kemudian bulan berikutnya ada sepintas kabar akan agenda yang melibatkan laki-laki dan perempuan. Oh ya, aku lupa sampaikan. Aku dan dia berada di dalam satu organisasi, Ra. Tapi pengurusan antara yang laki dan perempuan berbeda, sehingga meski ada di organisasi yang sama kami hampir tidak pernah bertemu sama sekali. Dan agenda itu memungkinkan kami bisa bertemu. Setidaknya itu pikiran liarku.

Tibalah hari agenda itu, Ra. Karena sesuatu dan lain hal, aku diutus untuk menghadiri acara tersebut yang undangannya sangat terbatas. Kucoba untuk terus meluruskan niat. Datang ke agenda bukan untuk berharap bertemu dengannya melainkan ada tugas yang diberikan untukku.

Sampai di lokasi agenda. Sialnya, -maaf aku mengumpat- aku lupa membaca kacamataku. Presentasi berlangsung berlalu tanpa bisa kubaca sedikitpun tulisannya. Betapa cerobohnya diriku, Ra. Dan pada saat itulah aku menyadari ada sosok yang tampak familiar meski tidak begitu jelas karena ketiadaan kacamataku. Bahu bidang, tinggi dengan kulit sawo matang. Tolong jangan katakan kalau itu dia, Ra!

Meski tidak melihat dengan jelas, tapi bisa kupastikan itu dia, Ra. Dia! Orang yang tidak ingin kutemui. Laki-laki no hard feeling itu. Dan aku tidak ambil pusing dia menyadari keberadaanku atau tidak. Ada rasa penasaran sekaligus tidak ingin pergi dari situ.

Selesai agenda ada hidangan yang bisa disantap oleh tamu undangan. Sebagian lagi memilih untuk menunaikan shalat. Aku sedang halangan jadi langsung bergabung dengan tamu perempuan lain untuk makan. Di tengah-tengah menghabiskan makanan, tak sengaja tatapan kami bertemu, Ra. Dia yang entah habis darimana berjalan melewati tempatku dan aku yang sedang duduk bersama tamu perempuan lainnya. Hanya sekelebat. Bahkan bisa jadi dia tidak melihatku, karena ya aku tak pakai kacamata dan dia juga pakai masker. Intinya tak bisa kupastikan apakah dia melihatku saat itu atau tidak. Aku katakan tatapan kami bertemu sebenarnya aku juga tidak yakin.

Selepas dari kejadian itu kalau kamu menduga aku akan terus-menerus teringat padanya, kamu salah, Ra. Justru aku mencoba untuk mengikhlaskannya. Dengan siapapun dia bersanding nanti, tak apa. Asalkan dia menjadi lebih baik, tanggung jawab terlaksana, tak apa. Sebab bisa jadi dia bukan yang terbaik untukku dan aku juga bukan yang terbaik untuknya. Kegagalan ini pasti menyimpan pesan yang kelak akan lebih kupahami. Justru dengan kegagalan ini aku belajar satu hal, mengakui kekurangan diri yang belum menyiapkan dengan matang langkah menuju pernikahan.

Salam sayang,

Murai

 

Setelah membaca suratnya sampai selesai aku ternganga. Mimpi apa dia memutuskan untuk menikah secepat ini? Maksudku, kita seumuran. Dan aku masih menganggap ada banyak hal yang perlu dicicipi, dijelajahi dan ditelusuri. Tapi menikah? Tidakkah kamu terlalu terburu-buru, temanku?

Tapi yah tak mungkin kubalas suratnya dengan pemikiranku tadi. Dia sedang berduka atau sudah pulih? Sungguh aku tak tau harus merespon suratnya dengan apa. Sebaiknya kupikirkan matang-matang dulu. Aku masih tak menyangka. Itu sepertinya ungkapan yang tepat. Memutuskan untuk menikah tidaklah mudah. Ada banyak hal yang harus dipersiapkan. Ilmu, mental dan juga kesiapan keuangan. Lagakku sudah seperti orang yang menikah puluhan tahun saja.

Pada poin kurangnya persiapan Murai, sepertinya aku setuju. Dia bertindak ceroboh. Tapi pasti dari kejadian itu dia dapat memetik banyak pelajaran kurasa. Seperti menambal apa saja yang kurang ketika proses perkenalan itu. Mungkin juga merumuskan rencana ke depan lebih detail? Selepas menikah dia mau menjadi apa? Pekerjaannya bagaimana? Dia mau membangun rumah tangga yang seperti apa? Heh, kenapa aku jadi ikut memikirkan tentang situasinya? Sebentar, Murai berkenalan melalui perantara atau bagaimana? Dia tidak menyebutkannya sama sekali di dalam suratnya.

Oh iya, sejak dulu aku hanya tau cara Islam mempertemukan laki-laki dan perempuan yang akan berkenalan dengan tujuan menikah disebut taaruf. Secara teori aku paham. Tapi sayangnya belum praktik. Entahlah, apa mungkin karena terlalu sibuk mengejar karir atau membantu keluarga sampai-sampai persiapan ke arah sana belum kupersiapkan. Wah, terima kasih Murai! Kamu menambah isi pikiranku!

 

“Pengalaman pahit pasti selalu menyimpan pesan-pesan indah untuk perbaikan diri.” – Zara -  

 

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Save KRS Online

Yak, balik lagi untuk postingan tips dan trik. Karena berkaca dari pengalaman pribadi yang panik ga bisa save KRS. Sedangkan kuota untuk buka KRS lagi untuk diprint itu nggak ada. Okay, sila dibaca tutorial berikut ini.

Surat untuk Murai (2)

(Dari Zara untuk Murai) Menulis balasan untuk Ai ternyata tidak semudah itu. Menuangkan dan menata ulang isi pikiran juga tidak gampang, tapi bukan sesuatu yang mustahil. Kuberanikan diri membalas e-mail Ai yang sudah berapa bulan ini tak tersentuh. Harapanku, semoga Ai mau membacanya. Kalau mode berbicara aku berharap Ai mau mendengarkan. Aku terbuka untuk solusi atau sekedar balasan simpati. Sebagai tanda bahwa tulisanku didengar olehnya. ______