Langsung ke konten utama

Punggungmu, Ayah!

Melihat punggungmu menjauh membuatku diriku seakan rindu. Kenangan beberapa tahun yang lalu tak pernah bosan mendatangiku disaat lelah maupun senang. Sudah beberapa hari ini kupendam perasaan ingin seperti dulu. Ketika membutuhkanmu selalu saja engkau ku panggil untuk membantuku. Tak peduli kau sedang sibuk atau tidak. Kalau hal itu masih memusingkanku, selalu kutanyakan sampai aku benar-benar memahaminya.

Namun, sekarang. Ketika aku sudah mulai memasuki bangku kelas 2 SMK. Engkau seakan membiarkanku mengerjakan semuanya dengan tanganku tanpa pernah
kau bantu. Disatu sisi aku merasa bangga bisa menyelesaikan banyak hal dengan tanganku. Akan tetapi hal ini tidak berlangsung lama. Hanya sebentar. Dan kembali kepada membutuhkanmu layaknya dulu ketika aku masih kesulitan menghitung pembagian angka sederhana.


Aku masih membutuhkanmu, pak. Selalu membutuhkanmu. Bukan berarti ketika sepeda motor telah kukuasai serta komputer jinjing telah kumiliki aku tidak membutuhkan siapa pun. Tidak. Aku masih membutuhkanmu, bapak.

Dahulu ketika praktek shalat akan diuji pada saat aku berada di bangku kelas 2 SD, kuminta engkau untuk menemaniku mencari buku panduannya di toko buku. Karena takut merepotkanmu aku hanya memilih buku sederhana yang kuharap tidak memberatkanmu akan harganya. Ketika aku membutuhkan sebuah pianika untuk berlatih di sekolah, kau mengantarku dan membelikanku yang terbaik.

Semua hal itu berakhir, maksudku kenangan pergi bersama bapak, semenjak negara api menyerang ketika sebuah sepeda motor dibeli oleh bapak. Ya, motor itu untukku. Hari pertama menggunakannya ke sekolah, aku begitu takut sehingga memintamu untuk menemani berangkat sekolah. Meski ditertawai teman sekolah, sudahlah itu hanya tawa, bukan hal yang serius bagiku.
Kini setelah aku benar-benar mahir mengendarainya, seakan tak butuh lagi ditemani akan keberadaannya. Terasa bebas memang, walau izin belum kuperoleh darimu namun tetap saja aku menggenggam stang motor erat-erat dan pergi ke tempat yang ku tuju tanpa pernah kau tahu kemana arah tujuanku. Sendirian, mencari bahan tugas, membeli buku, peralatan dan banyak lagi. Aku sendiri, tanpa ditemani bapak. Meski teman selalu ada untukku, tapi itu berbeda dengan kehadiran bapak.

Ketika akalku masih belum sempurna, kuajak engkau dan kakak ke sebuah toko buku hanya untuk membeli isi buku catatan, walau buku itu tak pernah kutulisi. Engkau mengantar kami, aku dan kakakku, membeli cat kuku yang sebenarnya belum pantas kami gunakan. Engkau mengantarku membeli peralatan ketika masa orientasi siswa akan berjumpa denganku.

Aku suka lupa, akan hal-hal kecil yang sesungguhnya sangat membekas ini. Sehingga tanpa sadar aku hanya mengeluhkan hal-hal yang sebenarnya belum terlalu kubutuhkan. Aku selalu melihat ke atas tanpa berusaha menundukkan kepala untuk melihat ke bawah. Bahwa masih banyak orang-orang yang lebih kekurangan daripadaku.

Aku hanya inginkan satu. Bisa bersamamu kembali, pak. Bersama seperti seorang anak dan ayahnya yang terdapat di buku-buku cerita. Mungkin terlalu tinggi khayalanku, kalau begitu bagaimana dengan menjadi ayah seperti dulu ketika aku masih kecil. Maksudku, tidak perlu lagi aku diproteksi ketika harus memilih belajar bersepeda hingga jatuh atau berpergian ke tempat wisata. Aku sudah mengerti beberapa hal tentang itu walau tidak sebaik dan sesenior engkau.
Bagaimana? 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Save KRS Online

Yak, balik lagi untuk postingan tips dan trik. Karena berkaca dari pengalaman pribadi yang panik ga bisa save KRS. Sedangkan kuota untuk buka KRS lagi untuk diprint itu nggak ada. Okay, sila dibaca tutorial berikut ini.

Surel dari Murai (1)

       Zara POV Beberapa hari belakangan ini aku merasa bosan. Buku maupun ebook beberapa sudah kutamatkan. Tapi masih terasa sepi dan jenuh sekali. Harus ada aktivitas baru. Iseng kubuka email khusus korespondensi. Ternyata ada surel dari Murai masuk. Hampir sekitar sebulan lebih kami tidak pernah berkomunikasi. Entah aku yang terlalu sibuk atau mungkin dia juga sedang sibuk dengan aktivitas barunya mengajar anak-anak. Yah, intinya aku tidak ingin menyalahkan siapa pun atas berjaraknya pertemanan ini.

Surat untuk Murai (2)

(Dari Zara untuk Murai) Menulis balasan untuk Ai ternyata tidak semudah itu. Menuangkan dan menata ulang isi pikiran juga tidak gampang, tapi bukan sesuatu yang mustahil. Kuberanikan diri membalas e-mail Ai yang sudah berapa bulan ini tak tersentuh. Harapanku, semoga Ai mau membacanya. Kalau mode berbicara aku berharap Ai mau mendengarkan. Aku terbuka untuk solusi atau sekedar balasan simpati. Sebagai tanda bahwa tulisanku didengar olehnya. ______