Langsung ke konten utama

Lampu Merah


Setiap di sekolah rasanya ada beban berat. Walhasil tugas-tugas kebanyakan jadi di rumah. Dan it takes many time. Huff, ada titik dimana gue penat sama yang namanya sehat. Gue pengen sakit terus gak bisa masuk sekolah hanya buat menghindari dikumpulinnya tugas-tugas itu. Capek. Sumpah capek banget. Dan tiap kali di rumah, rasanya nyaman terus bisa ketawa lepas sama orang-orang rumah. Dimana pun gue berada, entah itu rumah atau sekolah gue selalu pake topeng. Topeng buat nutupin apa yang gue yang sebenarnya gue rasakan. Terkadang gue butuh lampu merah. Berhenti untuk semuanya dan mengambil lampu hijau untuk diri sendiri memikirkan masalah yang sudah saatnya diselesaikan.


Stop bukan berarti pengecut kok. Cuma kita butuh pengendalian diri dan itu memerlukan waktu. Mengisi detik-detik dengan tindakan yang akan mengganti tindakan sebelumnya. Mundur saat ini terasa mengibarkan bendera putih. Terasa atau kelihatan? Mungkin kelihatan. Tidak semua yang terekam oleh mata menunjukkan hal-hal yang diperlukan.  Bersiap untuk kehilangan. Mungkin bukan kehilangan tapi menyiapkan diri untuk memberi lebih banyak. Lebih banyak waktu untuk diri sendiri. Terkesan egois?  Sudah terlalu lama tak ada waktu untuk memperbaiki diri.

Gue hanyalah seorang gadis biasa yang terkadang ingin diakui keberadaan serta kemampuannya. Tampilan yang terhias layaknya anak kecil tak tahu menahu apa sebenarnya kehidupan itu. Mengapa harus menjadi dewasa untuk bisa diakui pemikirannya? Kurang cukupkah pengalaman? Apa salahnya mempunyai pikiran yang semestinya tidak dimiliki saat ini? Haruskah menunggu 10 atau 15 tahun ke depan?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Save KRS Online

Yak, balik lagi untuk postingan tips dan trik. Karena berkaca dari pengalaman pribadi yang panik ga bisa save KRS. Sedangkan kuota untuk buka KRS lagi untuk diprint itu nggak ada. Okay, sila dibaca tutorial berikut ini.

Surel dari Murai (1)

       Zara POV Beberapa hari belakangan ini aku merasa bosan. Buku maupun ebook beberapa sudah kutamatkan. Tapi masih terasa sepi dan jenuh sekali. Harus ada aktivitas baru. Iseng kubuka email khusus korespondensi. Ternyata ada surel dari Murai masuk. Hampir sekitar sebulan lebih kami tidak pernah berkomunikasi. Entah aku yang terlalu sibuk atau mungkin dia juga sedang sibuk dengan aktivitas barunya mengajar anak-anak. Yah, intinya aku tidak ingin menyalahkan siapa pun atas berjaraknya pertemanan ini.

Surat untuk Murai (2)

(Dari Zara untuk Murai) Menulis balasan untuk Ai ternyata tidak semudah itu. Menuangkan dan menata ulang isi pikiran juga tidak gampang, tapi bukan sesuatu yang mustahil. Kuberanikan diri membalas e-mail Ai yang sudah berapa bulan ini tak tersentuh. Harapanku, semoga Ai mau membacanya. Kalau mode berbicara aku berharap Ai mau mendengarkan. Aku terbuka untuk solusi atau sekedar balasan simpati. Sebagai tanda bahwa tulisanku didengar olehnya. ______