Langsung ke konten utama

Surat untuk Murai (2)

(Dari Zara untuk Murai)

Menulis balasan untuk Ai ternyata tidak semudah itu. Menuangkan dan menata ulang isi pikiran juga tidak gampang, tapi bukan sesuatu yang mustahil. Kuberanikan diri membalas e-mail Ai yang sudah berapa bulan ini tak tersentuh.

Harapanku, semoga Ai mau membacanya. Kalau mode berbicara aku berharap Ai mau mendengarkan. Aku terbuka untuk solusi atau sekedar balasan simpati. Sebagai tanda bahwa tulisanku didengar olehnya.

______


Sekeping ide terlintas. Ai, ketahuilah, tujuanku membalas e-mailmu bukan untuk menyalahkanmu yang mungkin tidak berada pada posisi bisa mendengarkanku. Tentu bukan itu sobat. Aku pun perlu waktu untuk mengurai sendiri persoalan apa yang sebenarnya ku hadapi.

Dan sepertinya terapi menulis ini perlu kulanjutkan agar semua tanggung jawab bisa berjalan dengan baik juga emosi negatif bisa tersalurkan tanpa ada yang tersakiti oleh lisanku. 

Semakin beranjak usia semakin sibuk pula dan semakin sedikit tempat untuk berbagi kisah.

Halo, Ai. Maaf lama sekali aku membalas pesan darimu. Bukan tanpa sebab tentunya. Beberapa bulan terakhir jadwalku semakin bertambah padat saja! Murid-muridku semakin banyak. Alhamdulillah pemasukan pun ikut bertambah hehe.

Tapi ada satu hal mencolok yang kurasakan. Momen untuk merilis emosi negatif kian sempit. Beban bertambah tapi momen untuk mengendalikan diri dari beban-beban tadi kadang-kadang hampir tidak ada, Ai.

Ada satu waktu aku benar-benar ingin menangis saja. Aku butuh menangis. Mengeluarkan segala keluh kesah maupun pikiran negatif yang kerap mengganggu. Aku kesepian, Ai. Bukan sepi karena tak ada orang, bukan. Tapi lebih kepada tidak adanya orang yang kuanggap cocok untuk berbagi isi hati dan pikiran.

Kamu tahu sendiri kan, Ai, perempuan itu kadang perlu cerita untuk sekedar menyuarakan perasaan? Terkadang hanya ingin didengarkan saja. Aku tidak punya itu, Ai.

Satu sisi aku harus selalu tampil profesional di depan murid-muridku. Di sisi lain ada amanah yang harus tetap dijalankan.

Kalau kamu bingung arah balasanku kemana, sederhana saja, Ai. Aku ingin ada yang menanyakan keadaanku dan membiarkanku cerita. Itu saja. Aku ingin ada orang yang menyadari bahwa kadang-kadang aku sedang tidak baik-baik saja, Ai.

Aku butuh tempat cerita. Aku juga merasakan kebingungan. Aku manusia, Ai, dengan segala kekurangannya.

Ketika membaca tulisanmu yang sempat berproses dengan laki-laki untuk tujuan menikah, aku pun membatin. Apakah dengan menikah keinginanku bisa terwujud? Karena ada sosok yang kemungkinan besar mau mendengarkanku.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Save KRS Online

Yak, balik lagi untuk postingan tips dan trik. Karena berkaca dari pengalaman pribadi yang panik ga bisa save KRS. Sedangkan kuota untuk buka KRS lagi untuk diprint itu nggak ada. Okay, sila dibaca tutorial berikut ini.

Book Review: Intelegensi Embun Pagi

Baru nyadar nulis ini ternyata dari bulan September 2017 tapi lupa dipublikasikan haha. Jadi ya tulisannya ya begitu.  Dan kelanjutan dari buku ini, info dari blognya Dee Lestari, bakal ada. Walau waktunya entah kapan. Seri Terakhir itu berjudul Permata. Seorang Peretas yang lahir dari Zarah dan Gio.  BOOK REVIEW: Setelah baca serial Supernova, kecuali KPBJ (Kesatria, Putri, dan Bintang Jatuh), saya jadi ngebet pengen tulis buku sendiri. Satu hal yang paling saya suka dari serial ini adalah adanya unsur ilmiah. Meski dibungkus dengan kisah fantasi beberapa diantaranya termuat informasi ilmiah, seperti tentang Mimpi (Gelombang), tetumbuhan (Partikel), listrik sebagai media penyembuhan (Petir), dan enaknya traveling (Akar). Dan setelah rampung membaca Intelegensi Embun Pagi (IEP ) saya semakin dibuat ngebeeet ingin melakukan riset yang entah apa. Perasaan menggebu-gebu seolah terlarut dalam alur cerita dan endingnya kebawa sampai mimpi, ini ciri khas kalo saya sudah suka ban...