Langsung ke konten utama

Hasil Diskusi (yang kemudian saya luruskan)



Hari pertama puasa dengan pembukaan mata kuliah Agama II. Seru sekali. Sungguh di luar prediksi. Terlebih karena pembahasannya mengenai Politik dalam Islam. Dimana istilah politik Islam itu bagi sebagian orang tidak pantas. Sebab, Islam suci dan politik itu kotor. Sehingga tidak pantas menggabungkan keduanya.

Begitu pula dengan diskusi tadi pagi. Memperlihatkan pemahaman teman-teman kelas terhadap politik Islam. Ada yang setuju dan ada pula yang tidak setuju. Kebetulan, pematerinya ada yang menyinggung tentang HTI dan tidak setuju dengannya.


Nah, ada beberapa hal yang ingin saya luruskan dari apa yang disampaikan pemateri tersebut. Karena terbatasnya waktu perkuliahan tadi (cuma 2 sks) jadi saya menanggapinya lewat tulisan ini.
Pertama, persoalan HTI merupakan ormas yang suka mengkafir-kafirkan kaum muslim lainnya karena tidak berpolitik dengan Islam. Setelah saya tanya, pemateri mengatakan sumber informasi tersebut didapat dari laman Geotimes. Perlu diketahui tidak semua media menggambarkan Islam (juga penganutnya) sebagaimana adanya.

Apa yang dikatakan HTI memang benar, tapi bukan mereka yang mengatakan kafir. Akan tetapi Al Quran. Bisa dicek di surat Al Maidah ayat 44, “....Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” Jadi HTI tidak mengkafir-kafirkan tapi memang begitu adanya bila tidak mengurusi urusan umat dengan aturan Allah.
Kedua, mengenai ISIS yang disamakan Khilafah. Dikatakan bila HTI memperjuangkan Khilafah, mengapa tidak membai’at kepada ISIS? Nah, mari kita sama-sama mengecek lagi. Apakah benar Khilafah adalah seperti yang dicontohkan ISIS?

Suatu negara dikatakan sebagai negara bila mempunyai pemimpin, aturan, wilayah, dan rakyatnya. Sepemahaman saya, meski ISIS diberitakan sebagai Khilafah tapi tidak tampak pemimpinnya. Dimana lokasi pemimpinnya? Kenapa tidak terekspos oleh publik?

Kemudian, wilayahnya ISIS tidak jelas dari batasan mana sampai mana. Berbeda dengan negara lain yang diakui batas wilayahnya. Sedang ISIS tidak jelas. ISIS sendiri merupakan akronim dari Iraq Syria Islamic State. Meski begitu, ISIS tidak menempati seluruh wilayah dari Iraq maupun Suriah. Selanjutnya adalah aturan. Aturan Islam seperti apa yang diterapkan oleh ISIS? Ini juga tidak jelas. Dalam perjuangan dakwah ISIS menggunakan senjata dan ini tidak dibenarkan oleh Islam.

Dan berita validnya juga sudah tersebar bahwa ISIS merupakan kelompok bentukan Amerika. Bila dibentuk oleh non-muslim, lalu benarkah bahwa itu memang Khilafah ajaran Islam? Tentu tidak. Maka sudah pasti HTI tidak membai’at kepada ISIS karena ISIS sendiri bukan Khilafah.

Ketiga, soal bisa tidak aturan Islam diterapkan di suatu negara? Misalnya Indonesia? Ada yang berpendapat bahwa aturan Islam tidak bisa diterapkan di Indonesia karena beragamnya agama masyarakat yang ada. Bahkan, nggak etis menghukum non-muslim dengan aturan Islam bila mereka melakukan kesalahan semisal mencuri dan harus dipotong tangannya.

Untuk alasan bahwa Islam tidak tepat diterapkan di Indonesia dan sudah cukup dengan aturan sekarang sebenarnya argumen yang kurang berdasar. Tapi setiap orang memang boleh berpendapat kan? Selama tidak menyimpang. Karena kalau membaca Sirah Nabawiyah akan kita temukan pada waktu Khilafah tegak di Madinah, rakyatnya bukan cuma muslim aja. Tapi ada juga orang Yahudi, Nasrani bahkan Majusi tinggal di dalamnya. Jadi argumennya kurang tepat sebab sudah dicontohkan oleh Rasul bahwa keragaman agama bukan menjadi penghalang untuk menegakkan aturan Allah di muka bumi.

Selanjutnya soal non-muslim yang dihukum dengan aturan Islam. Diperjelas dulu ya, mereka (non-muslim) tidak dipaksa untuk masuk Islam. Jadi mereka tetap dibiarkan kafir selama tetap tunduk terhadap aturan Islam.

Negara melaksanakan syari’at Islam kepada setiap orang yang memiliki kewarganegaraan, baik muslim maupun non-muslim. Warganegara non-muslim, dibiarkan memeluk akidah mereka, dan dibiarkan beribadah menurut agamanya. Sedangkan hal-hal yang berkaitan dengan makanan dan pakaian diperlakukan sesuai dengan sistem umum yang berlaku. Adapun yang berkaitan dengan hukum keluarga di antara mereka, seperti nikah dan talak diurus sesuai dengan agamanya. Urusan syari’at Islam yang lain, seperti masalah mu’amalah, uqubat, sistem pemerintahan, ekonomi, dan lain-lain berlaku sama bagi seluruh warganegara, baik terhadap muslim maupun non-muslim.

Dalam pandangan Islam, orang yang terbebani hukum adalah seluruh manusia, karena hukum itu merupakan seruan pembuat syari’at yang berkaitan dengan perbuatan hamba-Nya. Tidak ada perbedaan dalam tanggung jawab (taklif) hukum syara’ antara orang kafir dan orang mukmin. Karena, mereka semua merupakan sasaran seruan dari seruan pembuat syari’at. Mereka semua orang yang terkena tanggung jawab (taklif) hukum syara’.

Dalil-dalilnya sebagai berikut:
Sesungguhnya Kami telah mengutusmu (Muhammad) dengan kebenaran; sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan...” (Al Baqarah 119)
Katakanlah: "Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua,...” (Al A’raf 158)
Sungguh aku diutus untuk orang yang berkulit merah maupun yang berkulit hitam.” (HR. Muslim)

Jadi, seruan di atas dan seruan lainnya yang memiliki makna serupa dimaksudkan untuk seluruh manusia tanpa terkecuali.

Adapun dari aspek pelaksanaan mereka terhadap hukum-hukum ini, dan dari aspek penerapan negara terhadap mereka, serta mereka dipaksa dan tidaknya untuk melaksanakan hukum-hukum tersebut, maka perlu ada rincian:
1)      Jika mereka melaksanakan hukum tersebut tanpa dipaksa, maka harus diteliti terlebih dahulu:
(a)    Jika hukum-hukum tersebut mensyaratkan adanya persyaratan Islam dalam pelaksanaannya berdasarkan nash dari pembuat syari’at, seperti shalat, puasa, haji, zakat dan ibadah yang lain, demikian pula dengan shadaqah dan berbuat baik, maka orang non-muslim tidak boleh menunaikan hukum-hukum tersebut, dan dilarang mengerjakan hukum-hukum tersebut, karena syarat pelaksanaan hukum-hukum tersebut adalah Islam (muslim), sementara orang tersebut kafir. Karena itu tidak boleh. Hal yang sejenis adalah kesaksian dari orang kafir terhadap selain harta, dan menjadikan orang kafir sebagai penguasa kaum muslim, hakim di antara kaum muslim, atau yang sejenis itu yang nota bene merupakan bagian dari hukum yang nash-nash syara’nya menyatakan, bahwa orang kafir tidak boleh, dan disyaratkan harus Islam.
(b)    Sedangkan hukum-hukum lain, selain itu, andai mereka melaksanakannya, maka itu diperbolehkan. Contohnya, seperti memerangi orang kafir bersama kaum muslim, karena tidak disyaratkan untuk melakukan peperangan (dengan orang kafir) hendaknya muslim. Dalam hal ini, Islam bukan syarat jihad. Karena itu, orang kafir boleh melakukannya.


2)      Adapun mereka dibebani hukum-hukum tersebut dengan paksa, ini perlu rincian lebih jauh:
(a)    Jika hukum-hukum tersebut merupakan bagian dari seruan yang dinyatakan secara umum, dan tidak dibatasi oleh syarat keimanan, maka harus dikaji terlebih dahulu: Jika seruan ini termasuk dalam kategori seruan yang hanya dikhususkan untuk muslim, karena Islam merupakan syarat di dalamnya, atau ditetapkan agar orang kafir tidak melakukannya, maka dalam dua kondisi ini, mereka tidak dipaksa untuk melaksanakannya. Seruan pembuat syari’at ini juga tidak diterapkan kepada mereka. Dasarnya firman Allah SWT:
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam)...” Al Baqarah 256
Mereka juga tidak dipaksa untuk meninggalkan (minum) khamr. Hukum khamr juga tidak diterapkan kepada mereka. Mereka juga tidak diberi sanksi, karena meminumnya.

(b)    Namun, jika hukumnya tidak seperti itu, maksudnya bahwa Islam tidak dijadikan syarat sahnya, dan tidak ada nash syara’ yang menunjukkan adanya ketentuan untuk meninggalkan penerapannya atas mereka, maka orang kafir itu dituntut untuk menerapkannya dan dipaksa untuk menerapkannya. Mereka akan dijatuhi sanksi, jika meninggalkannya. Itu karena orang kafir memang dituntut untuk melaksanakan hukum yang terdapat di dalam seruan pembuat syari’at, sementara tidak ada nash yang mensyaratkan syarat iman dalam pelaksanaannya, yang menyebabkan orang kafir tidak terbebani, sebelum beriman, juga tidak ada nash yang mengecualikan tuntutan di dalamnya, maka seruan seperti ini tetap bersifat umum meliputi orang kafir. Dalilnya adalah penerapan hukum yang dilakukan oleh Rasulullah terhadap orang-orang kafir. Dalam mu’amalah, misalnya, kita menjadikan ketetapan Nabi saw. yang melakukan mu’amalah dengan mereka dengan hukum Islam. demikian pula dalam kaitannya dengan hukum tentang sanksi (‘uqubat). Telah terbukti, bahwa beliau saw. menjatuhkan sanksi kepada mereka yang melakukan pelanggaran.

Dari Anas ra:
bahwa sesungguhnya seorang Yahudi membenturkan kepala anak perempuan di antara dua batu, maka ketika anak perempuan tersebut ditanya siapa yang melakukan kepadamu dengan ini Si Fulan atau Si Fulan? Sampai dia sebut seorang Yahudi. Maka, orang Yahudi tersebut didatangkan, Nabi saw. pun memerintahkan untuk dibenturkan kepalanya dengan batu.” (HR. Al Bukhari)

Jadi berdasarkan kutipan buku tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa non-muslim juga terkena taklif (beban hukum) terhadap syari’at Islam sepanjang dalam syari’at itu tidak sebutkan syarat untuk melakukannya adalah orang Islam. Jadi, semisal dia mencuri dan telah mencapai batasan potong tangan (yakni sebesar 4,25gr emas) maka wajib hukumnya tangannya dipotong. Karena sekali lagi Islam diturunkan untuk seluruh umat manusia. Bukankah kita sering mendengar istilah Islam Rahmatan lil ‘Alamin? Islam merupakan rahmat bagi seluruh alam dan isinya (muslim dan non-muslim, bahkan hewan pun ikut mendapat rahmat bila aturan Islam ditegakkan). 😊

Allahu a'lam ^^


Sumber gambar:
Google
 
Sumber buku:
Abdurrahman, Hafidz. 2014. Mafahim Islamiyah. Penerbit: Al Azhar Freshzone Publishing.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Save KRS Online

Yak, balik lagi untuk postingan tips dan trik. Karena berkaca dari pengalaman pribadi yang panik ga bisa save KRS. Sedangkan kuota untuk buka KRS lagi untuk diprint itu nggak ada. Okay, sila dibaca tutorial berikut ini.

Surel dari Murai (1)

       Zara POV Beberapa hari belakangan ini aku merasa bosan. Buku maupun ebook beberapa sudah kutamatkan. Tapi masih terasa sepi dan jenuh sekali. Harus ada aktivitas baru. Iseng kubuka email khusus korespondensi. Ternyata ada surel dari Murai masuk. Hampir sekitar sebulan lebih kami tidak pernah berkomunikasi. Entah aku yang terlalu sibuk atau mungkin dia juga sedang sibuk dengan aktivitas barunya mengajar anak-anak. Yah, intinya aku tidak ingin menyalahkan siapa pun atas berjaraknya pertemanan ini.

Surat untuk Murai (2)

(Dari Zara untuk Murai) Menulis balasan untuk Ai ternyata tidak semudah itu. Menuangkan dan menata ulang isi pikiran juga tidak gampang, tapi bukan sesuatu yang mustahil. Kuberanikan diri membalas e-mail Ai yang sudah berapa bulan ini tak tersentuh. Harapanku, semoga Ai mau membacanya. Kalau mode berbicara aku berharap Ai mau mendengarkan. Aku terbuka untuk solusi atau sekedar balasan simpati. Sebagai tanda bahwa tulisanku didengar olehnya. ______