Langsung ke konten utama

Bosan?

Pikir. Berpikir!

Jika bosan, tengoklah keluar. Perhatikan apa yang luput dari penglihatanmu.

Rutinitas harian yang terulang seringkali membuat jenuh. Untuk mengatasinya pun berbagai aktivitas acapkali dibuat berbeda. Meski esensinya sama saja. Tidak kehilangan ide, target mingguan bahkan bulanan pun tercipta. Tapi tetap saja bosen! Memutar otak pun rasanya percuma.

Saya rasa bosan itu wajar dirasa manusia. Siapa pun itu. Yang membedakannya hanyalah ada yang menyatakannya dan ada yang tidak. Selain itu, ada yang mengupayakan perubahan agar tidak bosan dan ada yang bahkan meninggalkan sejenak aktivitasnya agar merasa tidak bosan. Sama-sama berusaha mengenyahkan kebosanan.

Menurut awamnya saya, kebosanan itu masalah yang terletak pada isi kepala kita. Singkatnya pemikiran kita. Memang dikatakan bahwa aktivitas atau bahkan teks yang sering diulang-ulang akan menebalkan sel pada otak kita. Akibatnya kita akan terus mengingatnya. Hafal. Bagus bukan?

Untuk pelajaran mah bagus tapi kalau aktivitas kan ntar jadi bosen tuh! Iya bener kok. Nah, sekarang kita ubah persepsi orang dulu supaya rasa bosan tadi bisa sirna. Bahkan akan membentuk suatu kerendahan dalam dirinya. Maksudnya gimana? Yuk, simak aja.

Ada salah satu ceramah dari Ust. Hanan Attaki yang menyenggol sedikit mengenai rasa bosan. Meski memang pada judul maupun pembahasannya tidak dikaitkan. Tapi pendengar (yakni saya) menangkap topik tersebut bisa menjadi solusinya. Apakah itu? Tafakkur. Pikir dan berpikir.

Merupakan salah satu kelebihan manusia adalah berpikir. Tidak hanya itu, manusia mampu membandingkan informasi tentang objek yang ada di depannya dengan informasi sebelumnya yang sudah didapatkan mengenai objek tadi. Tidak hanya nerimo ae! Ini letak kerennya manusia.

Maka, kegiatan berpikir ini bisa dijadikan ajang untuk memberantas bosan. Caranya? Cukup jalan-jalan ke tempat yang belum pernah dikunjungi. Setelah itu, duduk dan diamlah. Lihat sekitar. Coba hitung ada berapa banyak objek yang bisa dilihat. Kemudian, coba bayangkan proses apa yang sedang terjadi di dalamnya. Misalnya, pohon.

Daun, batang, cabang hingga akar dimiliki oleh pohon. Air dan zat hara yang diserap akar akan diproses ke batang untuk menjadi bahan makanan bagi komponen pohon lainnya. Berbagai proses terjadi hingga menghasilkan buah. Coba tanyakan pada diri. Siapakah yang membuat pohon yang bisa melakukan berbagai hal tadi? Allah cipta.

Lakukan hal serupa dengan objek yang lain. Rumput, misalnya. Kecil dan ringkih namun salah satu penghasil oksigen. Bagaimana bisa? Bisa buka kembali buku IPA sewaktu SD. Siapakah yang menciptakan rumput yang bisa melakukan hal tadi? Allah cipta.

Berikutnya bisa tanah. Terpijak oleh kita namun tidak merusak struktur yang ada dibawahnya. Menjadi bahan untuk membuat bangunan dan sebagainya. Siapakah yang membuat tanah yang bisa kokoh tadi meski diinjak? Allah cipta.

Terus begitu untuk semua objek yang mampu tertangkap indera penglihatan ini. Terus juga tanyakan siapa yang menciptakannya. Terus dan terus.

Kemudian, bandingkan dengan kemampuan apa yang kita miliki. Misalnya si Mawar. Ia bisa mengetik 10 jari buta. Menguasai 2 perangkat lunak komputer yang sangat sering digunakan manusia. Bisa membaca bahasa asing yang menggunakan simbol-simbol dan lainnya.

Berapa banding berapa kemampuan si Mawar tadi bila disandingkan dengan Allah yang menciptakan ini dan itu? Mawar punya 3 keahlian andalan. Maka perhitungannya sekarang adalah 3/berapa yang bisa Allah ciptakan? Saya rasa jawabannya tak terhingga. Sehingga menjadi 3/~. Adakah hasilnya?

Tidak dimaksudkan untuk mencari jawabannya. Hanya retorika saja. Selevel kah kita dengan Allah yang Mahamenciptakan? Oh, sungguh bukan satu level. Kita berada di level yang sungguh-sangat-jauh dengan level itu. Kenapa? Karena Pembuat dan yang dibuat itu berbeda. Satunya tidak terbatas. Sedang satunya lagi terbatas.

Maka sebuah tanya terlontar. Pantaskah kita merasa tinggi karena menguasai 3 keahlian seperti contoh tadi? Itu sangat sedikit. CUMA sedikit. Lalu kita merasa bisa dan merasa lebih keren karena keahlian itu tadi. Pantaskah?

Sebanyak apa pun kita belajar tetaplah terhitung sedikit bila dibandingkan dengan ilmuNya. Namun, bukan berarti karena sedikitnya itu lantas membuat kita enggan untuk belajar. Justru membuat kita semakin semangat belajar dengan hati yang merunduk. Tawadhu' dengan ilmu yang kita miliki. Merendah dengan keahlian yang kita kuasai.

Insya Allah bosan yang menerpa di awal, terasa berbeda setelah melakukan proses pikir-berpikir. Serta menjadikan kita lebih menikmati dan mensyukuri aktivitas yang dikerjakan. Bahkan tidak hanya sekedar melakukannya. Kita pun dapat memetik pelajaran apa saja bila dilakukan dengan hati terbuka dan merasa nol dariNya.

----
Silahkan, bisa ditulis pengalaman masing-masing saat mencoba melakukan aktivitas pikir-berpikir di atas.
Tidak hanya menuliskan, saya pribadi mempraktikkan apa-apa yang saya tulis di atas. Sungguh, itu sangat berdampak pada isi kepala saya. Sederhana memang. Cuma jalan-jalan tetiba pikiran langsung jreeeng beda. Saya yang semula merasa bisa ini itu tanpa sadar mengakui bahwa keahlian yang saya miliki sangat kecil. Saking sedikitnya saya merasa tidak punya apa-apa.




salam, Annisa Janissaries

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Save KRS Online

Yak, balik lagi untuk postingan tips dan trik. Karena berkaca dari pengalaman pribadi yang panik ga bisa save KRS. Sedangkan kuota untuk buka KRS lagi untuk diprint itu nggak ada. Okay, sila dibaca tutorial berikut ini.

Surel dari Murai (1)

       Zara POV Beberapa hari belakangan ini aku merasa bosan. Buku maupun ebook beberapa sudah kutamatkan. Tapi masih terasa sepi dan jenuh sekali. Harus ada aktivitas baru. Iseng kubuka email khusus korespondensi. Ternyata ada surel dari Murai masuk. Hampir sekitar sebulan lebih kami tidak pernah berkomunikasi. Entah aku yang terlalu sibuk atau mungkin dia juga sedang sibuk dengan aktivitas barunya mengajar anak-anak. Yah, intinya aku tidak ingin menyalahkan siapa pun atas berjaraknya pertemanan ini.

Surat untuk Murai (2)

(Dari Zara untuk Murai) Menulis balasan untuk Ai ternyata tidak semudah itu. Menuangkan dan menata ulang isi pikiran juga tidak gampang, tapi bukan sesuatu yang mustahil. Kuberanikan diri membalas e-mail Ai yang sudah berapa bulan ini tak tersentuh. Harapanku, semoga Ai mau membacanya. Kalau mode berbicara aku berharap Ai mau mendengarkan. Aku terbuka untuk solusi atau sekedar balasan simpati. Sebagai tanda bahwa tulisanku didengar olehnya. ______