Langsung ke konten utama

Dianolin (3) Keputusan yang Matang

Kerja memang keras

1 Juli 2017

Temanku curhat pagi ini. Dia sedang mempersiapkan diri untuk resign pada hari pertamanya bekerja. Kok? Awalnya aku bingung sekaligus kaget. Orang macam apa yang mengundurkan diri di hari pertamanya masuk? Ya, ternyata orang macam kayak dia. Semalam dia sudah dapat nasihat dari mbaknya. Nasihat yang dia minta. Kata dia, sebut saja temanku ini namanya Sisi, sebenarnya niat dia ngelamar kerja kemarin itu karena ada iuran ratusan ribu yang harus dia bayarkan dalam waktu 8 bulan. Dengan status pelajar yang disandangnya plus tidak bekerja, Sisi kebingungan. Bagaimana caranya dia bisa dapat uang segitu banyak? Jangankan dia, aku saja bakal pusing tujuh keliling! Akhirnya berdasarkan info dari temannya, Sisi ketemu lowongan pekerjaan yang sesuai sama keterampilannya, berupa desain. Terus setelah ngelewatin semacam tes juga wawancara, Sisi diterima. Sisi nggak nyangka sama sekali, karena ada pelamar sebelum dia yang tidak diterima. Sisi cerita padaku, “Sudah terbayang nanti aku kerja paruh waktu dan setiap akhir bulan dapet pesangon.” “Lumayan buat lunasin iuran. Dan bulan depannya gajinya bisa dipakai untuk menambah koleksi buku-buku islami,” tambahnya. Aku ikut senang mendengarnya.


Dan beberapa hari sebelum masuk kerja, Sisi yang awalnya bersemangat dan sudah membayangkan tugas desain mendadak ragu. Seminggu setelah Lebaran dia dapat THR dari pamannya. Terus lagi dia dapat bantuan dana dari sekolah. Dan (lagi) dapat THR dari pamannya yang lain. Kalau ditotalin, kata Sisi, lunas semua iurannya. Dan memang setelah diatur-atur sisa iuran yang harus Sisi lunasi tingal belasan ribu karena uangnya dipakai untuk keperluan yang lain. Alhamdulillah, aku ikut bersyukur Sisi bisa melewati itu. Dan tinggal satu lagi. Niat awalnya untuk bekerja itu ya untuk melunasi iuran saja. Nggak ada yang lain. “Dan setelah iuran bisa dikatakan 95% lunas, terus bagaimana sama kontrak kerjaku, Lin? Apa aku tetap harus mengikuti kontrak atau bagaimana?” begitu tutur Sisi. Aku diam untuk mendengarkannya melanjutkan cerita.

“Perasaan nggak tenang dan gelisah melandaku 3 hari sebelum masuk kerja, Lin. Sementara mbakku belum kasi nasihat apa-apa.” Kata Sisi padaku, nadanya sedih. “Akhirnya aku beranikan diri untuk meminta agar nasihat itu dipercepat datangnya. Nggak nyangka, Lin! Mbakku malah minta maaf karena dia kurang gesit mencari solusi.” Matanya yang semula sedih seketika berbinar. “Dan hari itu juga, malamnya mbakku menghubungiku lewat WA.” lanjutnya. “Sebelum nelpon, mbakku minta solusi ke bibiku tentang persoalanku.” Jadi berantai ya keputusan itu. Nggak heran, ada orang kayak dia. Solusi nggak dipikirkannya sendiri, melainkan meminta tambahan dari orang lain yang nggak cuma satu.

Aku agak heran, apa sih yang melandari keputusan itu selain iuran yang sudah hampir terlunasi? Jawaban Sisi mengejutkanku. “Niatku bekerja cuma itu, Lin. Dan kalau dipikir-pikir lagi, aku kesulitan membagi waktu kalau bekerja penuh 7 hari dalam seminggu. Dan semua aktivitas bergantung sama niat untuk apa melakukannya. Untuk menguatkanku, mbakku tanya lagi, ‘Selain iuran, ada lagi keperluan mendesakmu, dik?’ Ya nggak ada mbak, kataku.” Jawab Sisi. Aku cuma menatapnya, diam. “Terus juga, kewajibanku nggak cuma sekolah, Lin. Ada sharing Islam ke teman-teman. Bagi-bagi ilmu itu nggak kalah penting. Sebelumnya pak bos juga pernah nanya, bagaimana sama sekolahku nanti. Dengan mantap aku bilang bisa membagi waktu. Pikiranku bilang bisa. Dan setelah mikir lagi kalau misalkan aku jadi ngambil pekerjaan itu. Sepulang sekolah aku langsung ke tempat kerja, malam baru pulang. Besoknya sekolah lagi. Belum lagi kalau ada tugas. Begitu terus. Kapan aku bisa sharing sama teman-teman, sama kamu juga? Sepertinya nggak bisa.” Jelasnya panjang lebar.

“Apa kamu nggak tergiur sama banyaknya uang yang bakal kamu dapet nanti kalau kerja, Si?” Aku masih penasaran. “Ya, tergiurlah. Namanya juga manusia yang punya naluri memiliki. Tadi kan aku sempat ngebayangin bagaimana pas kerja nanti, sambil sekolah pula terus dapet uang dari hasil keringat sendiri. Ada perasaan mandiri dan bangga, Lin.” Kalau aku di posisinya pun mungkin aku tergerak memilih bekerja karena memikirkan penghasilannya. “Tapi waktu yang kupunya cuma 24 jam. Terbatas. Harus dipilih mana yang benar-benar penting untuk aku lakukan. Bagi ilmu itu wajib, sedangkan kerja bagiku sebagai perempuan itu mubah atau boleh. Dan keadaanku sekarang nggak ada hal mendesak, jadi kewajiban tetap menjadi prioritas utama.” Hmm, pikiranku belum sampai kesana. Wah, dapet ilmu baru lagi ini!  Kulihat Sisi menghela nafas berat. Sepertinya aku tahu apa yang menyebabkan helaan nafas itu begitu berat. Keluarga Sisi mempunyai rumah dengan status tetap, tapi belum lunas cicilannya. Pekerjaan itu penting baginya tapi belum menduduki posisi darurat dan juga karena waktu bekerja yang sangat menyita. Belum lagi uang SPP setiap bulan harus dibayarkan dengan jumlah yang nggak sedikit. Pernah di salah satu semester Sisi belum bayar sama sekali. Rapornya hampir tertahan, tapi kemudian diberikan wali kelas. Aku nggak tahu bagaimana rasanya jadi dia. Ada beban besar tapi tidak dia perlihatkan. Karena matanya memandang jauh ke depan. Ke tempat yang mata belum pernah melihatnya.

Nasihat buatku seluruh ceritanya itu.
“Setiap keputusan benar-benar harus dipikirkan masak-masak. Jangan sampai terlihat matang tapi di dalamnya masih mentah. Harus matang benar-benar.” -Dianolin


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Save KRS Online

Yak, balik lagi untuk postingan tips dan trik. Karena berkaca dari pengalaman pribadi yang panik ga bisa save KRS. Sedangkan kuota untuk buka KRS lagi untuk diprint itu nggak ada. Okay, sila dibaca tutorial berikut ini.

Surel dari Murai (1)

       Zara POV Beberapa hari belakangan ini aku merasa bosan. Buku maupun ebook beberapa sudah kutamatkan. Tapi masih terasa sepi dan jenuh sekali. Harus ada aktivitas baru. Iseng kubuka email khusus korespondensi. Ternyata ada surel dari Murai masuk. Hampir sekitar sebulan lebih kami tidak pernah berkomunikasi. Entah aku yang terlalu sibuk atau mungkin dia juga sedang sibuk dengan aktivitas barunya mengajar anak-anak. Yah, intinya aku tidak ingin menyalahkan siapa pun atas berjaraknya pertemanan ini.

Surat untuk Murai (2)

(Dari Zara untuk Murai) Menulis balasan untuk Ai ternyata tidak semudah itu. Menuangkan dan menata ulang isi pikiran juga tidak gampang, tapi bukan sesuatu yang mustahil. Kuberanikan diri membalas e-mail Ai yang sudah berapa bulan ini tak tersentuh. Harapanku, semoga Ai mau membacanya. Kalau mode berbicara aku berharap Ai mau mendengarkan. Aku terbuka untuk solusi atau sekedar balasan simpati. Sebagai tanda bahwa tulisanku didengar olehnya. ______