Langsung ke konten utama

Jangan Takut Sendirian

Perasaan tak nyaman bahkan hambar seringkali menghampiri sebuah persahabatan. Perbedaan watak dan cara berpikir turut menyertai. Bagi saya pertemanan itu menyenangkan. Di satu sisi menjadi bumerang. Dengan mereka kita menjadi taat. Dengan mereka pula kita dapat melakukan maksiat. Itu tanpa kita sadari, karena dengan mereka hati sudah terbiasa. Seakan tumpul peringatan yang diucapkan di telinga kita, karena melihat teman juga masih sama seperti itu. Kita melakukan pembenaran dari orang lain yang belum paham. Begitukah pertemanan?
Pengalaman berteman semua orang sudah pernah mengalaminya. Entah semanis gula buatan atau sepahit cokelat sebelum diolah. Sama juga kayak saya. Menarik cara saya berteman dulu ketika masih di bangku sekolah menengah pertama. Diri saya seakan terbagi menjadi dua. Satu sisi ingin berteman dengan teman-teman yang gaul. Satu sisinya lagi berteman dengan teman-teman yang sederhana. Entah kenapa saya mulai begini. Kelas 1 SMP saya nggak membagi diri seperti kelas 2 dan 3. Mungkin efek teman-temannya yang nggak mengkotak-kotakkan diri. Walau saya nggak nyangkal, ada beberapa teman yang saya lebih tertarik berteman dengan mereka. Tapi, itu nggak sampai menyebabkan terbentuknya geng-geng. Atmosfirnya begitu, saya pun mengikuti. Lain halnya saat kelas 2 dan 3, suasana dan kondisinya terkotak-kotak, mau nggak mau saya mengikuti lagi. Lucunya kumpulan itu sempat kami beri nama dengan MIAU. Idenya dari huruf awal masing-masing nama panggilan kami, susah mencari nama yang sulit dan terlihat keren. Itu aja udah cukup kok *efek males mikir. Hahaha... Merasa terlibat dan terikat dengan mereka itu bisa dibilang seru dan nggak. Pas ada yang bertentangan dengan kebiasaan kita, tentu nggak nyaman. Awalnya, saya merasa nyaman. Dan setelah beberapa lamanya, ada yang bikin gak nyaman. Saya bukan menceritakan kejelekan mereka. Saya cuma merasa kurang nyaman, dan saya memaksakan diri supaya nyaman. Apalagi yang lebih nggak nyaman dari itu? Lama-kelamaan saya merasa palsu. Karena saya bukan seperti itu tapi bersusah payah agar bisa seperti itu.
Hati saya berpindah *eaa, ada sekumpulan geek, sebenarnya gak culun-culun amat. Mereka itu sederhana, simpel, dan asli. Nggak palsu kayak saya. Mereka gak suka langsung bilang, mereka juga gak segan buat tegur atau muji teman lainnya. Ini yang saya suka dan lagi nyari. Bareng mereka itu ya apa adanya. Kita bertiga sering pergi jalan-jalan pagi pake sepeda. Atau nggak ngunjungi rumah satu sama lain. Kalau gak punya uang ya kita minta dibeliin sama yang punya tanpa segan, dan itu kalau mereka mau. Rumah saya ada di pertengahan mereka. Satunya jauh di kanan, satunya lagi jauh di kiri. Jadi ngumpulnya ya di rumah saya. Asik banget dah sama mereka. Pernah tuh, ngenet di rumah saya buat nyari tugas bahasa Inggris. Karena hujan mereka di rumah sampe sorean gitu, padahal rumah mereka gak begitu deket. Pake sepeda lagi. Trus, kita suka puasa senin kamis bareng. Ke perpus bareng, walau ada satu orang yang begitu demen baca. Tapi ikut aja. Mereka berdua anak PMR, sedang saya anak biasa. Hahaha, jadi enak kalo upacara capek atau lupa bawa topi, bisa izin gitu di ruang UKS. Wkwk licik. Atau pas masak mie di rumah si tomboy.
MIAU saya suka sama mereka. Orang-orangnya gak kalah asik. Gaul, update, dan fresh! Bikin video cover lagu-lagu penyanyi yang lagi naik daun. Jalan-jalan ke mall dan saya seirng diajak untuk ikut latihan perkusi. Meski saya gak ikut pegang stik. Dan sebagainya. Saya suka.
Bingung kan? Entahlah, saya plin-plan atau bagaimana. Di kuliah ini juga saya kumat. Di SMK gak begini. Dan atmosfir kuliah sama kayak SMP. Lagi-lagi saya menyesuaikan diri. Saya gak suka kayak gini. Karena ternyata, saya takut sendiri. Banyak hal yang bukan saya terpaksa menjadi saya. Rasanya gak enak. Tanpa saya pasang topeng pun, beberapa teman mungkin ada yang tau. Saya bukan diri saya yang sebenarnya dalam kumpulan itu. Bayangin aja topik yang selalu dihindari, bahkan udah jelas saya menolaknya bisa dilihat dari pakaian saya, justru saya obrolin. Atmosfir lagi-lagi. Saya berteman sama yang gaul juga sama yang sederhana. Udah lama tersimpan, mungkin membusuk dan menghitam saking saya gak tau solusi dari ini apa.
Mbak saya mungkin baru tau saya kayak gini. Karena dia berpendapat dan pendapatnya itu gak pernah saya pikirin atau bahkan nyadar sebelumnya. “Jangan takut jadi sendirian.” Saya takut kehilangan teman gara-gara pemahaman saya yang bertentangan sama apa yang orang lain lakuin. Saya yang gak biasa begini, jadi keikutan padahal hati gak tenang. “Sendiri” sudah saya rangkul dari sebelum masuk kuliah. Pergi ke sana sendiri, ada agenda ini sendiri, mau ngurus ini sendiri. Hampir semuanya sendiri. Bukan pemahamannya yang salah, tapi memang lingkungannya tidak memahami pemikiran yang sama. Ini dia masalahnya. Kumpul gak jelas yang ada cowoknya, boncengan sama cowok, ngomongin pacar atau cowok yang disuka. Pergi ke mall, sedang uang gak ada. Itu bukan saya banget. Di semester awal saya pernah ditawari tebengan sama teman cowok, dia baik emang, tapi tetap aja dia cowok. Saya tolak. “Saya kan temenmu juga, Ndi. Selo. Ayok dah.” Saya tolak lagi, berusaha dengan halus. Tapi dia memaksa. Oke, akhirnya saya keluarin alasan yang sebenarnya. Karena kamu itu cowok. Bukan mahram saya. Dia masih agak gak enak, tapi dia pergi. Akhirnya. Walau jaraknya masih jauh, jalan masih lebih baik dibanding dibonceng dia. Saya jalan sama siapa? Siapa lagi kalau bukan sendirian.
Saya baru sadar. Nggak semuanya mau berpindah dari zona yang dianggap nyaman walau itu dilarang. Dengan alasan orang lain masih melakukannya. Pembenaran diri dengan contoh yang salah. Saya masih belum siap untuk sendiri, jadi pantas aja saya membagi diri. Meski saya tau yang dibicarakan atau yang dilakukan tidak bermanfaat saya tetap bergabung supaya bisa punya teman. Walau yang saya lakukan cuma diam mendengarkan, kadang menimpali. Selebihnya mendengar. Supaya eksistensi diri saya ada. Saya terlihat dan saya ada. Kejanggalan disana-disini di hati saya biarkan, yang penting saya ADA. Saya juga berusaha supaya mereka bisa saya ajak ke hal yang baik-baik, meski jarang terealisasi. Yang ada justru saya yang ngikut sama mereka. Merasa biasa dengan obrolan yang membicarakan orang lain, saya pun menjadi penasaran akan ada apa selanjutnya. Saya terbawa. Saya memaksa diri menjadi saya yang sudah direkonstruksi.
Ternyata begitu. Mau nggak mau saya harus berani sendiri. Siapa yang tau nanti saya akan mempunyai teman yang mau berjalan bersama menuju jalan ketaatan, bukan? Bersiap sajalah. Jika ke depan memang ada aktivitas yang tidak sesuai dengan apa yang saya pahami, saya harus berani dan siap untuk mundur. Walau itu mengakibatkan saya tidak memiliki teman. Saya harus siap.
Bukan berarti saya tidak mau berteman. Hanya aja saya menitikberatkan pada aktivitas yang bila itu bertentangan, maka cukup disini dulu saya gak bisa ikut. Setiap kita harus punya prinsip. Dan prinsip saya sederhana, bila sesuai hukum syara’ saya bisa. Dan bila melanggar, maaf saya nggak bisa. Itu aja.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Save KRS Online

Yak, balik lagi untuk postingan tips dan trik. Karena berkaca dari pengalaman pribadi yang panik ga bisa save KRS. Sedangkan kuota untuk buka KRS lagi untuk diprint itu nggak ada. Okay, sila dibaca tutorial berikut ini.

Surel dari Murai (1)

       Zara POV Beberapa hari belakangan ini aku merasa bosan. Buku maupun ebook beberapa sudah kutamatkan. Tapi masih terasa sepi dan jenuh sekali. Harus ada aktivitas baru. Iseng kubuka email khusus korespondensi. Ternyata ada surel dari Murai masuk. Hampir sekitar sebulan lebih kami tidak pernah berkomunikasi. Entah aku yang terlalu sibuk atau mungkin dia juga sedang sibuk dengan aktivitas barunya mengajar anak-anak. Yah, intinya aku tidak ingin menyalahkan siapa pun atas berjaraknya pertemanan ini.

Surat untuk Murai (2)

(Dari Zara untuk Murai) Menulis balasan untuk Ai ternyata tidak semudah itu. Menuangkan dan menata ulang isi pikiran juga tidak gampang, tapi bukan sesuatu yang mustahil. Kuberanikan diri membalas e-mail Ai yang sudah berapa bulan ini tak tersentuh. Harapanku, semoga Ai mau membacanya. Kalau mode berbicara aku berharap Ai mau mendengarkan. Aku terbuka untuk solusi atau sekedar balasan simpati. Sebagai tanda bahwa tulisanku didengar olehnya. ______