Langsung ke konten utama

Rasa Syukur Kerdil

Sulit sekali rasanya mengekspresikan perasaan ya. Tindakan yang terpilih justru sebaliknya, tidak menampakkan melainkan memperlihatkan sebaliknya. Begitu yang sedang terjadi pada saya. Iya begitulah.

Sulit sekali memberitahukan bahwa raga ini sedang letih, sehingga jika ada kesalahan dalam kontak fisik justru amarahlah yang terlontarkan. Saya capek. Saya sedang capek. Tidak usah diganggu dulu, begitu perkataan dalam hati. Namun tidak terucapkan. Karena saya berharap agar dengan diamnya raga ini sembari berpura-pura membaca buku menandakan bahwa saya sedang melakukan sesuatu yang tidak untuk diganggu. Sederhana saja yang kebanyakan orang terkadang tidak memahaminya. Tentu saja, tidak ada pemberitahuan sebelumnya.



Kau tau? Sejujurnya aku marah pada diriku sendiri. Marah yang diakibatkan tidak bisa mengendalikan diri dalam mengatur emosi. Namun, selain itu aku juga marah padanya. Pada kakakku seorang itu. Tidakkah ia bisa berubah? Maksudku, sebentar lagi ia mencapai usia 20 tahun. Bukan angka yang kecil lagi bukan? Ia sudah tergolong dewasa bagi definisi orang-orang awam. Tapi, sesungguhnya perilakunya masih menandakan bahwa ia belum dewasa sama sekali dalam beberapa kondisi, begitu menurutku. Kuakui bahwa aku pun belum sedewasa itu. Belum bisa melakukan apa-apa saja yang sudah bisa dilakukan kakakku. Namun aku sedang mencoba, mencoba untuk bisa mengendalikan walau itu sulit sekali untuk dilakukan pada awalnya.

Kataku, setelah mengganti nomor ponsel aku akan menjadi orang yang lebih terbuka. Justru terasa semakin kikuk saja aku ini. Bahkan perasaan yang sekarang sulit untuk dikontrol bagiku adalah perasaan iri. Ujianku masih di sekitar perasaan atau bahasa Arabnya Gharizah Baqa' yang diartikan sebagai naluri mempertahankan diri.

Perasaan iri yang muncul ketika melihat seorang teman yang mempunyai apa yang tidak kupunyai. Mereka dapat membeli ini dan itu. Mereka memiliki ponsel-ponsel keren. Mereka ini dan itu. Tidak akan pernah habis kalimat-kalimat yang membuat perasaan ini semakin berkobar karena iri. Aku iri karena tidak bisa seperti mereka, yang mempunya ponsel keren serta bisa eksis di dunia maya. Aku iri dengan mereka yang dapat mempergunakan uang semau mereka tanpa harus cemas dengan kebutuhan lain yang harus dipenuhi. Aku iri. Aku sungguh iri.

Naluri ini memanas. Meminta untuk dipenuhi. Walau tidak dipenuhi pun tidak menimbullkan kematian. Karena ini hanya naluri. Namun, tetap saja! Aku ingin menangis. Kemudian mengadukannya pada Sang Maha Melihat, meski Dia tau apa yang sedang kurasakan. Aku tau solusi dari masalah perasaanku ini. Aku hanya ingin bisa didengar. Masalah perasaan ini bukan masalah sepele yang bisa diceritakan pada teman dekat kemudian selesai begitu saja. Tidak semudah itu. Ini membutuhkan pengobatan.

Dalam perjalanan pulang (lagi-lagi), dikarenakan jarak rumah dan sekolah yang agak jauh aku memikirkan kembali segalanya. Aku ini orang yang tidak bersyukur sama sekali! Aku hanya memikirkan apa yang tidak kupunyai. Namun, tidak pernah berpikir apa saja yang sudah kumiliki. Terlalu sering melihat ke atas, itulah aku. Terlalu ingin menyamai dengan orang-orang yang berada di atas. Sampai-sampai lupa, untuk melihat ke bawah. Orang-orang yang berada dibawah meski mereka juga ingin sekali untuk berada diatas namun mereka mensyukuri apa yang telah ada bagi mereka. Aku lupa. Lupa untuk melihat ke bawah dikarenakan terlalu berharap karena keinginan menggebu semata. Bukan karena kebutuhan yang nyata.

Astagfirullah...astagfirullah..

Karena bersyukur tidak dapat diajari orang lain, melainkan harus kita sendirilah yang terjun langsung untuk memahaminya. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Save KRS Online

Yak, balik lagi untuk postingan tips dan trik. Karena berkaca dari pengalaman pribadi yang panik ga bisa save KRS. Sedangkan kuota untuk buka KRS lagi untuk diprint itu nggak ada. Okay, sila dibaca tutorial berikut ini.

Surel dari Murai (1)

       Zara POV Beberapa hari belakangan ini aku merasa bosan. Buku maupun ebook beberapa sudah kutamatkan. Tapi masih terasa sepi dan jenuh sekali. Harus ada aktivitas baru. Iseng kubuka email khusus korespondensi. Ternyata ada surel dari Murai masuk. Hampir sekitar sebulan lebih kami tidak pernah berkomunikasi. Entah aku yang terlalu sibuk atau mungkin dia juga sedang sibuk dengan aktivitas barunya mengajar anak-anak. Yah, intinya aku tidak ingin menyalahkan siapa pun atas berjaraknya pertemanan ini.

Surat untuk Murai (2)

(Dari Zara untuk Murai) Menulis balasan untuk Ai ternyata tidak semudah itu. Menuangkan dan menata ulang isi pikiran juga tidak gampang, tapi bukan sesuatu yang mustahil. Kuberanikan diri membalas e-mail Ai yang sudah berapa bulan ini tak tersentuh. Harapanku, semoga Ai mau membacanya. Kalau mode berbicara aku berharap Ai mau mendengarkan. Aku terbuka untuk solusi atau sekedar balasan simpati. Sebagai tanda bahwa tulisanku didengar olehnya. ______