Langsung ke konten utama

Kisah Sebuah Hadiah (1)

Hari ini merupakan hari yang biasa saja sepertinya. Bagi orang-orang yang sama sekali tidak mirip denganku. Bayangkan saja, mantan kekasihmu ehm atau sebut saja seseorang yang baik di masa lalumu berulang tahun pada hari ini. Dan mungkin ini satu-satunya cara agar aku bisa berkomunikasi lagi dengannya. Mengucapkannya selamat ulang tahun. Hal ini cukup menguras otak juga ternyata. Karena untuk membuat hadiah yang tepat, tentu kau tak ingin seorang pun tahu akan rencanamu ini. Begitu pula aku.
Ketika sampai di sekolah, pikiranku hanya tertuju pada satu tempat. Lab. Dimana aku mendapatkan tegangan listrik untuk menghidupkan komputer jinjing tua ini, baterainya sudah tak sanggup menyala sendiri. Tololnya aku, memilih tempat duduk biasa layaknya belajar setiap hari. Dan bangku-ku terletak di tengah. Tengah. Meja kedua dari depan dan meja ketiga dari kiri. Jumlah baris bangku dari depan berkisar 8 bangku. Bukan berkisar, tetapi memang 8 bangku.
 
Setelah membuka program yang berhubungan dengan hadiah ini, mataku pun sangat awas sekali dengan keadaan sekitar. Meskipun teman-temanku sibuk dengan urusannya masing-masing, tetap saja mereka seakan mengintaiku dari belakang. Ini mulai menakutkan, jujur saja. Dan karena tidak tahan dengan prasangka-prasangka buruk ini, aku pun pindah tempat ke bangku paling belakang, tepatnya pojok kanan. Dengan jarak 2 bangku dari sisi kiri , temanku sedang memainkan Dota. Setidaknya mereka mempunyai sesuatu untuk difokuskan sehingga tidak memperhatikan apa yang sedang kulakukan. Walhasil dengan secercah harapan akan terselesaikannya proyek ini dalam waktu singkat membuatku mau tidak mau terseyum juga. Baru saja, aku memasukkan foto, temanku yang perempuan datang menghampiriku dengan membawa temannya satu lagi. Komplit sudah, tidak akan selesai tepat waktu hadiah ini, erangku dalam hati. Meski begitu, tak mungkin bukan aku mengusir mereka seketika itu juga? Kupaksakan diriku untuk menerima kehadiran mereka, dan mencoba untuk membahas sesuatu hal yang membosankan agar mereka segera pergi.
Hampir beberapa menit mereka masih bersamaku, temanku yang perempuan. Setelah berhasil me-minimize proyekku, aku berusaha untuk masuk ke dalam pembicaraan mereka. Well, terkadang aku tidak begitu suka dengan pembicaraan perempuan, maksudku perempuan yang hanya mementingkan style dan laki-laki. Akan tetapi, mereka membahas hal lain, yaitu tentang “lelaki baik di masa laluku”. Entah, aku harus memperlihatkan ekspresi senang atau sakit hati, dan ekspresi jengkel yang terpilih. Satu perempuan pergi. Tinggal satu lagi, ucapku penuh kesabaran dalam hati. Dan sungguh betapa tololnya aku, malah memperpanjang obrolan kurang penting ini. Sial. Mungkin dia menyadarinya, dan tak lama kemudian dia pergi. Syukurlah.
Dengan hati-hati sekali ku buka kembali proyek itu, bahkan aku mengecek keadaan sekitarku, adakah yang memperhatikanku? Tidak ada. Otakku agak terkuras sedikit kinerjanya akibat merasa tegang sepanjang beberapa waktu yang lalu. Tentang desainnya aku kehilangan perencanaannya. Ku keluarkan selembar kertas untuk membuat sketsa. Temanya warna biru, karena itu warna yang dia sukai. Nanti akan kumasukkan 2 fotonya, kemudian ditambahkan tulisan ucapan selamat. Mm, finishing-nya mungkin gambar panah dengan brush. Oke, kurasa ini cukup. Adobe Photoshop CS6 menjadi saksi atas proyek ini,  dan mudah-mudahan selesai sesuai dengan jadwal yang telah kutentukan.
Tak terasa, sudah ¾ jadi. Temanku, yang kali ini adalah laki-laki,  datang menghampiriku. Please  jangan mengajakku mengobrol, kataku memelas dalam hati tentunya.
“Gimana, Ndi? Udah jadi web?” tanyanya santai, sembari mengambil tempat duduk di dekatku.
“Eh, ngg belum. Aku bingung, Nok,” cepat-cepat ku buka program lain.
“Kamu sedang ngerjain apa?”
“Nggak, ada kok.”
Hatiku mulai berdetak tak karuan, sejauh ini belum ada yang tahu tentang proyekku. Nanok, dia mungkin salah satu orang yang kupercaya, meskipun kami jarang berkomunikasi. Entahlah, aku hanya merasa nyaman dengannya, maksudku, dia orang yang enak diajak ngobrol.
“Santai aja, lagi bikin apa sih?” tanyanya lagi.
Haruskah ku ceritakan padanya tentang proyek ini. Hmm, iya tidak ya. Kurasa dia bukan orang yang suka menceritakan rahasia orang.
“Gimana ya… Cuma kamu aja yang tahu tentang ini. Jangan beri tahu siapa pun, oke?”
“Iya, Ndi.”
Dia tetap tenang meski pun aku sudah mengatakan bahwa ini adalah sebuah rahasia. Baiklah. Sepertinya tidak apa-apa juga kuceritakan proyek ini kepadanya.
“Gini, temanku ulang tahun sekarang, Nok. Dan aku sedang membuat hadiah ulang tahun untuknya.” Ujarku pelan, dan membuka kembali halaman kerjaku di Photoshop.
Dia hanya mengangguk. Bahkan matanya tampak agak sayu, mungkin kecapekan. Yang ku  tahu, dia suka mengerjakan tugas teman-temanku di kelas. Sebagai imbalannya dia dibayar, dan soal ini aku tidak tahu berapa. Betapa baiknya orang ini, ujarku dalam hati. Dia hanya tersenyum melihatku malu begini. Untuk mencairkan suasana, aku pun menanyakan pendapatnya mengenai finishing-ku yang belum menemukan jalan keluar.
“Wah, kalau soal desain aku kurang begitu ahli, Ndi,” jawabnya tertawa.
Aku hanya terkekeh mendengar jawabannya yang begitu jujur. Otakku seakan memberi tahu, waktunya menipis. Langsung saja aku mengerjakannya tanpa merencanakan sentuhan akhir dari proyek ini. Aku akan menggunakan insting untuk ini.  Sepertinya Nanok menyadari bahwa aku sedang sibuk, dia pun pergi meninggalkanku. Aku merasa lumayan bebas sekarang. 

bersambung...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Save KRS Online

Yak, balik lagi untuk postingan tips dan trik. Karena berkaca dari pengalaman pribadi yang panik ga bisa save KRS. Sedangkan kuota untuk buka KRS lagi untuk diprint itu nggak ada. Okay, sila dibaca tutorial berikut ini.

Surel dari Murai (1)

       Zara POV Beberapa hari belakangan ini aku merasa bosan. Buku maupun ebook beberapa sudah kutamatkan. Tapi masih terasa sepi dan jenuh sekali. Harus ada aktivitas baru. Iseng kubuka email khusus korespondensi. Ternyata ada surel dari Murai masuk. Hampir sekitar sebulan lebih kami tidak pernah berkomunikasi. Entah aku yang terlalu sibuk atau mungkin dia juga sedang sibuk dengan aktivitas barunya mengajar anak-anak. Yah, intinya aku tidak ingin menyalahkan siapa pun atas berjaraknya pertemanan ini.

Surat untuk Murai (2)

(Dari Zara untuk Murai) Menulis balasan untuk Ai ternyata tidak semudah itu. Menuangkan dan menata ulang isi pikiran juga tidak gampang, tapi bukan sesuatu yang mustahil. Kuberanikan diri membalas e-mail Ai yang sudah berapa bulan ini tak tersentuh. Harapanku, semoga Ai mau membacanya. Kalau mode berbicara aku berharap Ai mau mendengarkan. Aku terbuka untuk solusi atau sekedar balasan simpati. Sebagai tanda bahwa tulisanku didengar olehnya. ______