Langsung ke konten utama

Normal


Berada di kawasan orang normal tanpa disadari membuat kita memaksakan diri untuk menjadi normal. Gue yang sebenarnya gak boleh berlari menjadi berlari ketika teman-teman gue berlari dikarenakan sudah terlambat. Terkadang gue pengen berada di kawasan gue, kawasan khusus skoliosis. Meskipun sama-sama kekurangan tapi setidaknya kami saling memahami dan membantu satu sama lain. Di kawasan normal, orang di sekitar gue menuntut gue untuk berlaku normal setiap saat. Bapak gue, teman gue. mungkin maksud mereka baik, tapi hal itu kuranglah baik bagi kondisi fisik gue. bapak gue menyuruh gue untuk mengikuti ekstrakulikuler basket. Teman gue meminta gue untuk mengikuti salah satu beladiri. Jika gue ber-fisik normal akan dengan mudah gue katakan “ya” untuk semua tawaran tersebut. Tapi apa yang terjadi? Mereka menganggap gue normal karena gue berada dalam kawasan normal dan lingkungan yang normal. Tidak bisakah gue meminta lingkungan yang mengerti keadaan gue? Adakah tempat yang seperti itu? Tempat dimana gue bisa merasakan bahwa gue sama dengan yang lain tanpa harus memaksakan kehendak gue untuk melakukan sesuatu yang terlarang untuk kondisi gue. Gue mencari tempat yang normal namun perlakuan normal tersebut tidak berlaku bagi yang kekurangan.
Terlebih lagi jika kita didengarkan tapi tidak dimengerti. Itu sungguh menyakitkan!!!!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Save KRS Online

Yak, balik lagi untuk postingan tips dan trik. Karena berkaca dari pengalaman pribadi yang panik ga bisa save KRS. Sedangkan kuota untuk buka KRS lagi untuk diprint itu nggak ada. Okay, sila dibaca tutorial berikut ini.

Surel dari Murai (1)

       Zara POV Beberapa hari belakangan ini aku merasa bosan. Buku maupun ebook beberapa sudah kutamatkan. Tapi masih terasa sepi dan jenuh sekali. Harus ada aktivitas baru. Iseng kubuka email khusus korespondensi. Ternyata ada surel dari Murai masuk. Hampir sekitar sebulan lebih kami tidak pernah berkomunikasi. Entah aku yang terlalu sibuk atau mungkin dia juga sedang sibuk dengan aktivitas barunya mengajar anak-anak. Yah, intinya aku tidak ingin menyalahkan siapa pun atas berjaraknya pertemanan ini.

Surat untuk Murai (2)

(Dari Zara untuk Murai) Menulis balasan untuk Ai ternyata tidak semudah itu. Menuangkan dan menata ulang isi pikiran juga tidak gampang, tapi bukan sesuatu yang mustahil. Kuberanikan diri membalas e-mail Ai yang sudah berapa bulan ini tak tersentuh. Harapanku, semoga Ai mau membacanya. Kalau mode berbicara aku berharap Ai mau mendengarkan. Aku terbuka untuk solusi atau sekedar balasan simpati. Sebagai tanda bahwa tulisanku didengar olehnya. ______