Ku pasang sepatu sehabis keluar dari lab dan bergegas menuju tempat
berkumpul yakni di bawah tangga di depan kelas belajarku. Aku meyakinkan
diriku, bahwa dia –lelaki baik itu– tidak akan ada disana. Mustahil, karena
seingatku teman perempuanku yang terakhir tadi mengatakan ekstrakulikuler yang
diikutinya mengadakan rapat untuk anggotanya dan si laki-laki itu termasuk. Ku
coba menggali-gali ingatanku, kapan dan pukul berapa mereka akan rapat agar aku
tidak bertemu dengannya. Sepertinya sekarang rapat mereka sedang berlangsung.
Ya, mereka sedang rapat sekarang, ucapku yakin. Akan tetapi hatiku tidak
sebegitu yakinnya dengan pikiranku, karena entah bagaimana tiba-tiba saja
berdetak lebih kencang dari biasanya.
Kemudian, rasa ragu menggodaku. Bagaimana jika dia ada disana? Akan
tetapi mereka seharusnya sedang
rapat. Jadi, tidak ada alasan untuk itu. Ku mantapkan langkah untuk
menyingkirkan pikiran-pikiran aneh ini.
Dari kejauhan terdengar suara pelatih
debatku. Positif, aku terlambat. Ku ubah cara berjalanku menjadi sedikit
berlari. Dan setibanya disana, memang pelatihku ada. Mereka, termasuk
pelatihku, sedang duduk dan membahas sesuatu. Dan rasanya hatiku menyalahkan
pikiranku yang dengan pasti menduga bahwa laki-laki itu tidak akan ada disana, dan disinilah dia. Agar
lebih sopan, aku mengatur posisi dudukku di dekat pelatihku. Meski posisinya
berjauhan dariku, hatiku berdetak lebih hebat dari sebelumnya. Bagai magnet
saja, kurasa sedang terjadi tarik-menarik antara mataku dengan sosoknya.
Seakan-akan dia bisa hilang setiap detiknya. Susah bagiku untuk memalingkan
pandanganku darinya, dan dia sudah menyadari keberadaanku. Kulihat dia
memundurkan posisi duduknya lebih merapat pada tembok sehingga tertutupi oleh
tubuh teman disampingnya. Langkah cerdas, pujiku dalam hati. Meski begitu,
tetap tidak bisa membuatku untuk tidak memikirkan laki-laki itu. Pelatihku
menyakan teman-teman debatku, dan aku hanya bisa menjawab sekenanya saja,
karena sesungguhnya semua perhatianku hanya tertuju pada si laki-laki itu.
Bahkan, pelatihku ini semakin menjengkelkan saja. Mr. D bertanya apakah ia bisa
mengantri untuk menjadi pendamping hidupku atau tidak –pemilihan kata ini
terlalu buruk, bagiku– dan tanpa sadar aku menjawabnya persis dengan jawaban
yang kuberikan pada laki-laki itu. Setelah sadar, ku coba untuk menatapnya,
gagal. Tubuh temannya sangat strategis sehingga aku hanya bisa melihat kakinya
yang terjulur saja.
Berat rasanya untuk meninggalkan forum kecil itu, akan tetapi aku
harus pergi. Pergi kemana saja, agar sosok si laki-laki tidak memenuhi isi
pikiranku. Kurasa tidak baik menyebut seseorang dengan sebutan “laki-laki”
saja, nanti akan ada banyak sekali lelaki yang merasa dipermainkan dengan kisah
ini. Dia mempunyai nama, akan tetapi aku tak sanggup menuliskannya. Bukan
apa-apa, hanya saja dia tidak akan pernah membaca ini. Tidak akan. Baiklah, aku
akan memberikan nama baru baginya, Kulkas. Kupikir ini nama yang lucu sekali,
namun mewakili salah satu sifatnya yang kadang kusukai dan kadang tidak.
Musholla merupakan pilihan terbaikku saat ini untuk dituju.
Mudah-mudahan saja ada kenalanku disana. Dalam perjalanan –sekolahku cukup
luas, tidak heran jarak satu tempat dan tempat lainnya membutuhkan waktu tidak
sedikit– lagi-lagi sosok Kulkas memasuki pikiranku. Mengapa ia memundurkan
posisinya ketika mengetahui aku datang dan berkumpul dengan pelatihku? Merasa
terganggukah ia dengan adanya aku disana? Pertanyaan-pertanyaan yang tak bisa
kujawab pasti kubiarkan memenuhi pikiranku.
Ternyata tidak ada satupun orang yang kukenal di musholla. Aku pun
kembali berjalan menuju ke bawah tangga tadi.
Komentar
Posting Komentar