Langsung ke konten utama

Dari Zara untuk Murai (4)

Udah lama Zara nggak balas emailku. Rindu juga bertukar kabar dan kisah padanya. Hari-hari ini rasanya tenang. Tapi satu sisi ketenangan ini agak mengusikku. Bukan apa-apa, hanya saja aku merasa tidak perlu mengusahakan apa pun. Sekedar menjalani kehidupan saja. Dan aku tidak suka ketenangan yang seperti ini. 


Cucian bersih sudah selesai kulipat. Sudah cuci piring juga. Baiklah, mungkin ini saatnya berselancar di dunia maya sejenak. Meski aku ragu Zara sudah membalas tetap saja situs email kuakses. Dan siapa sangka email dari Zara sudah masuk dari 10 menit yang lalu?


_________

Halo, Ai! Semoga kamu enggak bosan dengan balasanku ya!

Tahu engga, Ai, sekitar beberapa bulan ini ada yang mengganggu pikiranku. Dan aku baru menyadari bagaimana sesuatu yang mengganggu ini muncul. Tentu kamu pernah mendengar kasus orang bunuh diri bukan? Aku pernah bertanya-tanya apa yang mendasari keputusannya untuk benar-benar mengakhiri hidupnya sendiri. 

Well, curiosity kills the cat.

Maafkan aku bila suratku kali ini tidak enak dibaca, Ai.

Beberapa kali aku sempat stres. Menurutku itu wajar. Bukankah aku sudah dewasa dan tentu saja beriringan dengan tanggung jawab yang kian bertambah? Jadi tetap saja kujalani hari dan menikmati tekanan demi tekanan itu. Tapi ada yang hilang. Aku tak lagi bercerita. Aku menelan dan memendamnya dalam-dalam. 

Aku tidak bisa menceritakannya karena beberapa alasan. Topiknya hanya dapat dipahami orang-orang komunitas saja. Sedangkan aku tidak menemukan orang yang cocok di dalam komunitas untuk bercerita. Bila aku bercerita ke orang di luar komunitas, respon dan komentar mereka sudah bisa diduga akan seperti apa. Atau malah menyalahkanku balik. Bisa saja mereka (orang di luar komunitas) menganggapku tidak kompeten dan tidak mampu, meski penampilanku menunjukkan aku mampu. Tenang saja, Ai. Komunitas yang kumaksud bukan sekte sesat atau menyimpang. 

Itu baru persoalan komunitas. Belum tentang persoalanku pribadi. Aku terinspirasi dari suratmu tentang menikah. Dan kau tahu? Aku mungkin hampir tidak menyukai teman-temanku di media sosial yang mengunggah kebersamaan mereka dengan pasangan mereka. Aku merasa tertinggal. Dan terabaikan. Aku seperti bukan siapa-siapa bagi mereka. Sejak mereka menikah, mereka sangat jarang menghubungiku lebih dulu. Selalu aku. Apakah aku kesal? Bisa jadi. Apakah aku iri? Mungkin saja. Kalau ada yang bertanya padaku-dengan usiaku yang sedang berjalan menuju kepala tiga- tentang, kenapa aku tak kunjung menikah? SUNGGUH INGIN KUPENGGAL KEPALA MEREKA. Aku tidak bohong, Ai. Aku sangat marah dengan pertanyaan itu. Mereka tidak tahu apa-apa tentangku dan mereka langsung menyimpulkan aku betah dengan status solo-player ini. 

Aku juga ingin menikah. Bahkan butuh. Aku pun lelah dengan target-target pernikahan yang belum menunjukkan hasilnya. Aku bosan sekali belajar untuk persiapan pernikahan. Bukan berarti aku sudah sangat sempurna dengan diriku sendiri sehingga merasa bosan belajar. Tidak. Aku juga punya masalah dengan pengaturan waktu tidur dan manajemen emosi. Aku tahu aku harus berbenah dan memperbaiki kebiasaan buruk. Kemudian berusaha untuk minta dikenalkan ke laki-laki yang mempunyai tujuan untuk menikah. Tapi tidak kulakukan. Aku bertarung dengan pikiranku sendiri, Ai. Aku tahu aku salah. Aku ingin mengeluh. Ingin membersihkan kepalaku dari pemikiran-pemikiran busuk. Tapi aku tidak melakukannya. Aku tidak tahu kemana untuk bercerita. Aku bosan dengan nasihat bertema sabar dan bersyukur. Aku bersyukur dengan kondisiku sekarang. Tidak semua orang mempunyai apa yang kupunya saat ini. Aku benci dengan pesan, "Nanti juga bakal ketemu jodoh kok." Dan aku juga benci pesan yang seolah positif tapi beracun ini, "Tak mengapa belum menikah di usia 28. Banyak juga yang belum menikah di atas usia itu." AKU TIDAK BUTUH PERKATAAN ITU, AI! TIDAK!

Dan beberapa persoalan lainnya. Tentang finansial misalnya.

Dan kesemuanya itu, aku tahu letak salahku dimana. Dan yang seharusnya kulakukan itu apa. Aku tahu. Aku punya solusinya. Lalu buat apa aku cerita, Ai? Aku sudah tahu. Terbayang di benakku ketika aku mengeluhkan persoalan di atas. "Kalau sudah tahu ya tinggal dilakukan toh?" Lebih jauh, aku dapat membayangkan mereka akan kaget. Aku tampak baik-baik saja dan kalau tahu isi pikiranku seperti itu mereka mungkin tidak menyangka. "Sudah tua tapi kok seperti ABG labil. Sudah punya ilmunya tapi kok malah begitu." Dan sederet bayangan reaksi lainnya.

Mungkin ketika membaca ini, kamu akan merespon, "Itu kan pikiran kamu aja, Ra. Aslinya engga begitu. Kamu overthinking." Aku juga sudah bisa memastikan itu, Ai.

Ai, begitulah yang terjadi. Sekarang aku paham. Kenapa ada orang yang ingin bunuh diri. Aku paham, Ai. Meski aku tidak berniat untuk membunuh diriku sendiri. Tapi aku merasa cukup sesak napas dengan semua pikiran yang berkelindan satu sama lain ini. Aku kewalahan, Ai. Rasa-rasanya aku ingin pergi dari diriku sendiri. Tapi bagimana mungkin?

Dan aku tidak bisa bercerita karena terbayang timbal balik yang akan muncul. Bahkan mungkin salah satu nasihatnya adalah agar aku semakin mendekatkan diriku dengan Allah. Memperbanyak ibadah dan baca Qur'an dan seterusnya. 

Ai, aku takut untuk bercerita. Meski sesak dan rasanya seperti mau mati, susah sekali bagiku untuk bercerita. Aku tidak tahu harus seperti apa. Karena sejauh ini yang kupikirkan, bisa jadi aku hanya butuh didengarkan. Tapi dengan semua kemungkinan skenario balasan yang akan terjadi, urung kulakukan. 

Sempat terpikir olehku untuk pergi ke psikolog. Tapi belum juga kulakukan.

Mungkin kamu penasaran dengan apa yang kurasakan saat ini bukan? Mengejutkannya, aku tidak merasakan apa pun, Ai. Aku memang kewalahan tapi aku masih hidup dan tetap menjalaninya. Aku bahkan hampir tidak melihat masa depanku akan seperti apa. Kalau dulu tergambar di kepalaku, aku ingin menjadi Ekonom Syariah atau Ilustrator. Sekarang sudah tidak ada bayangan-bayangan seperti itu. Aku tidak melihat apa-apa. Yang terlihat hanyalah hari demi hari terlewati. Bulan demi bulan juga tahun demi tahun berganti. Tanpa ada perubahan yang berarti dari diriku. 

Terdengar putus asa sekali bukan?

Aku pun sempat bertanya-tanya pada Allah. Ada pelajaran apa dibalik ini semua? Pesan apa yang Dia ingin aku ketahui dengan merasakan ini semua? Aku terdiam dan merenung cukup lama, Ai. Lalu terbersitlah tentang itu. Orang-orang yang bunuh diriv. Mereka tidak punya siapa pun untuk berbagi. Meski sebenarnya ketika masalah mereka didengarkan akan dapat terselesaikan. Mereka rasa dengan menghilang dari dunia dapat menyudahi sesak yang membelenggu.  Mereka sesak. Mereka butuh ruang agar kepala mereka dapat bernapas dari lautan pikiran yang ada. Mereka terpikir bahwa kalau mereka tiada, tak akan ada yang mencari mereka. Tiada yang merasa kehilangan. 

Ai, maafkan aku. Surat kali ini sangat tidak baik. Aku mungkin tampak mengerikan sekarang bagimu. Semoga saja kamu tidak kapok dan masih tetap mau membalas suratku. Semoga kamu baik-baik saja, Ai.


Salam sayang,

Zara.

__________



Aku cukup kaget membacanya jujur saja. Apa yang terjadi padanya sampai balasannya seperti ini? Zara kenapa? Hanya satu pertanyaan yang berputar di kepalaku pasca membaca emailnya. Zara kenapa?

Dia tampak seolah baik-baik saja. Lalu maksud email ini bagaimana? Ya Tuhan. Tidak ada niat sedikit pun untuk meremehkannya sama sekali. Aku hanya berharap dia tetap meyakini bahwa bunuh diri itu dosa besar!

Kejadian apa yang membuat Zara begitu putus asa dengan hidupnya? Akumulasi kegagalan kah? Atau hilangnya kepercayaan pada orang lain? Atau terlalu tinggi ekspektasinya terhadap kehidupan?

Aku berusaha untuk menangkap emosi apa yang tersirat dari surat ini. Sebab, dia sepertinya bukan butuh nasihat atau semangat. Melainkan sesuatu yang lain yang entah itu apa. Bangkit dari keterpurukan tentu saja tidak mudah. Bangkit dari gelapnya harapan membutuhkan usaha keras. Apa yang bisa kulakukan untuk membantunya?

Zara... Kuharap kamu baik-baik saja. Mungkin dunia dan rencana Allah tampak tidak sejalan dengan apa yang kamu harapkan. Aku ada disini kalau kamu butuh tempat untuk bercerita. Kamu nggak sendirian. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Save KRS Online

Yak, balik lagi untuk postingan tips dan trik. Karena berkaca dari pengalaman pribadi yang panik ga bisa save KRS. Sedangkan kuota untuk buka KRS lagi untuk diprint itu nggak ada. Okay, sila dibaca tutorial berikut ini.

Surel dari Murai (1)

       Zara POV Beberapa hari belakangan ini aku merasa bosan. Buku maupun ebook beberapa sudah kutamatkan. Tapi masih terasa sepi dan jenuh sekali. Harus ada aktivitas baru. Iseng kubuka email khusus korespondensi. Ternyata ada surel dari Murai masuk. Hampir sekitar sebulan lebih kami tidak pernah berkomunikasi. Entah aku yang terlalu sibuk atau mungkin dia juga sedang sibuk dengan aktivitas barunya mengajar anak-anak. Yah, intinya aku tidak ingin menyalahkan siapa pun atas berjaraknya pertemanan ini.

Pelatihan LSP (Lembaga Sertifikasi Profesi) TIK (1)

Sudah 2 hari, kami menginap di hotel. Rasanya? Tentu nyaman sekali! Aktivitas padat sedari pagi hingga sore mampu menghilangkan efek magis kamar hotel tersebut. Raga ini sudah terlalu lelah! Batin jangan ditanya. Hampir seharian, mental kami digempur habis-habisan. Karena sudah begitu lama menghabiskan waktu tanpa berhadapan dengan seorang ahli, sehingga ketika bertemu jantung ini serasa ingin cepat-cepat lepas dari tempatnya semula. Perutku tidak kalah berontak. Cacing-cacing mulai menggigiti bagian-bagian perutku tanpa ampun. Geli sekaligus sakit!