Langsung ke konten utama

Ayunan

Sebuah perasaan menyenangkan kini hadir dalam diriku. . . Ku tak tahu sebutan apa yang tepat untuk hal tersebut. Sudah genap tiga bulan ku selalu menunggu-nunggu sosok jangkung putih sipit itu. Entah mengapa, meski ia tak sadar akan kehadiranku, selalu terhipnotis mata ini saat melihatnya. Waktu pun berlalu, dan akhirnya aku tersadar apa yang sedang terjadi. Cinta. Ya, aku jatuh cinta. Lebih tepatnya, kepadanya. Lelaki itu.
"Hai." ketikku pada ponsel mungil. Tapi, begitu banyak pikiran berkeliaran dalam kepalaku sehingga keraguan pun mendatangiku. Kirim saja. Dia kan belum punya pacar. Dengan banyak pertimbangan, ku tekan tombol send tanpa melihat ponsel ku sendiri. Hati ku berdebar kencang. Ku tinggalkan ponsel tersebut dan membantu ibu.

Klik. Ponsel ku berbunyi tanda pesan masuk. Mata ini takut untuk melihat respon apa yang dia berikan namun hati ini tak sabar melihat balasannya. Tak lama kemudian kami pun akrab sebatas teman.
Ku nikmati hubungan dekat tanpa status ini. Tanpa ku sadari, hati ini meminta lebih. Tetapi, hanya hatiku yang meminta lebih bukan hatinya. Tak apa. Sebatas teman saja cukup, pikirku. Dan pertemanan kami berlanjut hingga saat-saat yang tidak ingin kupikirkan terjadi. Aku telah tenggelam sangat dalam. Bahkan, palung laut pun tertinggal jauh. Dan kenyataannya atau harapanku dia juga menyukaikku. Bukti yang kudapatkan hanyalah ia selalu membalas pesanku. Hanya itu. Tidak meyakinkan memang, namun begitulah.
Hari-hari berjalan cepat. Ku sadari, bahwa hanya harapanku saja. Status jejaring sosialnya, balasan pesannya, yang ku kira perasaan nyatanya kepadakku hanyalah ilusi. Ilusi ringan yang mampu menohok dadaku dengan kerasnya. Dipersilahkannya diriku menduduki bangku pada ayunan. Dengan senyum menawannya, ia bersedia mendorong bangku ayunan yang ku duduki. Angin sepoi, menemani senangnya hatiku ini. Akan tetapi, lambat laun dorongannya terlalu keras sehingga membuatku ter-ayun hampir membentuk sudut siku-siku. Ku coba mengatakan padanya untuk memelankan dorongannya. Ia menghilang. Pergi begitu saja. Ku teriakkan namanya. Sia-sia saja. Jawaban hening yang kudapat. Kamu dimana? Kamu dimana? Sesaat, air mataku meluncur melewati pipiku. Apa yang telah kau lakukan padaku? Ketika ingin bangkit dari bangku, tubuhku tak bisa. Rupanya, kau telah memasangkan sabuk pengaman untukku. Baik memang. Karenanya, ku tak dapat berpindah kemana pun! Menunggu dan menunggu dirimu yang membawa kunci tuk melepaskan pengaman ini. Sabar. Kau pasti akan datang untukku. Pasti, pikirku. Harapan ku bangun tuk menepis keputus asaan yang menggodaku. Aku percaya padamu. Aku percaya!


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Save KRS Online

Yak, balik lagi untuk postingan tips dan trik. Karena berkaca dari pengalaman pribadi yang panik ga bisa save KRS. Sedangkan kuota untuk buka KRS lagi untuk diprint itu nggak ada. Okay, sila dibaca tutorial berikut ini.

Surat untuk Murai (2)

(Dari Zara untuk Murai) Menulis balasan untuk Ai ternyata tidak semudah itu. Menuangkan dan menata ulang isi pikiran juga tidak gampang, tapi bukan sesuatu yang mustahil. Kuberanikan diri membalas e-mail Ai yang sudah berapa bulan ini tak tersentuh. Harapanku, semoga Ai mau membacanya. Kalau mode berbicara aku berharap Ai mau mendengarkan. Aku terbuka untuk solusi atau sekedar balasan simpati. Sebagai tanda bahwa tulisanku didengar olehnya. ______

Surel dari Murai (1)

       Zara POV Beberapa hari belakangan ini aku merasa bosan. Buku maupun ebook beberapa sudah kutamatkan. Tapi masih terasa sepi dan jenuh sekali. Harus ada aktivitas baru. Iseng kubuka email khusus korespondensi. Ternyata ada surel dari Murai masuk. Hampir sekitar sebulan lebih kami tidak pernah berkomunikasi. Entah aku yang terlalu sibuk atau mungkin dia juga sedang sibuk dengan aktivitas barunya mengajar anak-anak. Yah, intinya aku tidak ingin menyalahkan siapa pun atas berjaraknya pertemanan ini.