Mungkin kalian
bertanya-tanya, di jaman yang sudah canggih ini kenapa aku masih menggunakan surel
untuk menghubungi temanku? Bukankah WhatsApp lebih cepat? Entahlah. Aku bertemu
dengannya di dunia maya. Lebih tepatnya kami mengomentari blog seseorang dan
berakhir saling bertukar e-mail. Sampai saat ini pun Murai tidak pernah
menanyakan alamat rumahku ataupun nomor teleponku. Melihat dia yang seperti
itu, membuatku menahan diri juga untuk tidak menanyakan hal yang sama. Kami
membicarakan banyak hal, baik itu masalah pribadi atau hal lainnya. Hanya saja
tidak pernah membahas identitas masing-masing.
Hai, Ra!
Maaf sudah
lama tidak mengabarimu. Ada satu kisah yang belum pernah kuceritakan padamu,
Ra, sampai aku sendiri sudah merasa baik-baik saja tentang hal itu. Kegagalan
yang mengawali hari baru, kalau boleh kukatakan.
Hari itu
gelisah yang belum pernah kurasakan muncul. Sedari dulu aku bisa dikatakan
berupaya untuk menghindari hal-hal yang melibatkan banyak orang. Saat aku sakit
yang beberapa bulan lalu kutanyakan padamu itu, sejujurnya aku tidak berani
memberitahu orang tuaku atau bahkan kakakku. Alasannya aku tidak ingin membuat
mereka cemas atau bahkan merepotkan mereka. Tapi cerita kali ini beda, Ra.
Mereka harus tau.
Sekitar bulan
Agustus, aku berkenalan dengan seseorang untuk tujuan menikah. Ya, menikah, Ra!
Sesuatu yang bagiku merupakan hal yang hampir tidak pernah terpikirkan. Pernah
terpikirkan tapi belum pernah seserius ini. Dan perkara ini mustahil kusimpan
sendiri. Ada izin orang tua yang harus kukantongi. Dan ya, aku membicarakan ini
dengan ibuku dulu. Beliau mengiyakan untuk mencoba berkenalan dengan laki-laki
itu.
Singkat
cerita, Ra, aku ingin melanjutkan prosesnya. Visi misi kami sama. Karakter kami
berbeda meski tidak terlalu berlawanan. Hanya saja kondisi tempat tinggal nanti
yang masih menjadi persoalan. Selain dari itu, aku memilihnya, Ra. Sempat
terbersit sebenarnya, apa terlalu cepat ya aku menjatuhkan pilihan padanya?
Tidak melihat yang lain dulu?
Sayang seribu
sayang. Aku masih belum mendapatkan lampu hijau dari bapak, Ra. Bapak
menginginkan agar kakak dulu yang melaju ke pelaminan, bukan aku. Bapak juga
kurang sreg dengan pekerjaan laki-laki itu yang belum tetap. Aku minta bapak
untuk bertemu dengannya sekali saja, bapak menolak.
Kira-kira bagaimana
perasaanku saat itu, Ra? Bisakah kamu membayangkannya?
Aku kesal.
Aku kecewa. Aku bahkan sempat merasa repotnya menjadi perempuan yang harus
meminta izin dari walinya. Tidak bisa bergerak bebas. Ya, aku tau ini bisikan
setan. Tapi itulah yang kupikirkan. Seolah ada tembok besar menghalang di
depanku. Aku marah. Dan juga sedih. Semuanya bercampur jadi satu sampai sulit
sekali rasanya kujelaskan.
Hanya saja
dia, laki-laki itu, -maaf namanya tidak ingin kusebut- sudah menekankan dari
awal. No hard feeling. Sebelum dia tekankan
juga, nothing to lose selalu kutanam dalam kepalaku selama proses
perkenalan itu berlangsung. Dan memang tidak ada perasaan sama sekali, Ra.
Meskipun sudah bertemu. Kesan yang kudapatkan justru asing. Semua perasaan
campur aduk tadi tertuju pada bapak, bukan dia. Dan ketika kubulatkan niat
untuk menolak kelanjutan proses pun dia menjawab dengan ringan kurasa, “Ok,
tidak apa-apa.”
Beberapa hari
pasca kegagalan itu, aku merasa malu. Malu karena belum mempersiapkan segalanya
dengan matang. Malu karena betapa butanya aku dengan persiapan. Malu sekali.
Ingin rasanya menghilang dari bumi. Dan beberapa kali terlewat di kepalaku,
kira-kira apa yang dia pikirkan tentangku ya? Walau aku tau ini pikiran konyol,
tapi tetap saja terlintas, Ra.
Terus begitu
sampai berlalu satu bulan. Dan perasaan canggung itu masih ada untukku, Ra.
Kemudian bulan berikutnya ada sepintas kabar akan agenda yang melibatkan
laki-laki dan perempuan. Oh ya, aku lupa sampaikan. Aku dan dia berada di dalam
satu organisasi, Ra. Tapi pengurusan antara yang laki dan perempuan berbeda,
sehingga meski ada di organisasi yang sama kami hampir tidak pernah bertemu
sama sekali. Dan agenda itu memungkinkan kami bisa bertemu. Setidaknya itu
pikiran liarku.
Tibalah hari
agenda itu, Ra. Karena sesuatu dan lain hal, aku diutus untuk menghadiri acara
tersebut yang undangannya sangat terbatas. Kucoba untuk terus meluruskan niat.
Datang ke agenda bukan untuk berharap bertemu dengannya melainkan ada tugas
yang diberikan untukku.
Sampai di lokasi
agenda. Sialnya, -maaf aku mengumpat- aku lupa membaca kacamataku. Presentasi
berlangsung berlalu tanpa bisa kubaca sedikitpun tulisannya. Betapa cerobohnya
diriku, Ra. Dan pada saat itulah aku menyadari ada sosok yang tampak familiar
meski tidak begitu jelas karena ketiadaan kacamataku. Bahu bidang, tinggi
dengan kulit sawo matang. Tolong jangan katakan kalau itu dia, Ra!
Meski tidak
melihat dengan jelas, tapi bisa kupastikan itu dia, Ra. Dia! Orang yang tidak
ingin kutemui. Laki-laki no hard feeling itu.
Dan aku tidak ambil pusing dia menyadari keberadaanku atau tidak. Ada rasa
penasaran sekaligus tidak ingin pergi dari situ.
Selesai
agenda ada hidangan yang bisa disantap oleh tamu undangan. Sebagian lagi
memilih untuk menunaikan shalat. Aku sedang halangan jadi langsung bergabung
dengan tamu perempuan lain untuk makan. Di tengah-tengah menghabiskan makanan,
tak sengaja tatapan kami bertemu, Ra. Dia yang entah habis darimana berjalan
melewati tempatku dan aku yang sedang duduk bersama tamu perempuan lainnya.
Hanya sekelebat. Bahkan bisa jadi dia tidak melihatku, karena ya aku tak pakai
kacamata dan dia juga pakai masker. Intinya tak bisa kupastikan apakah dia
melihatku saat itu atau tidak. Aku katakan tatapan kami bertemu sebenarnya aku juga
tidak yakin.
Selepas dari
kejadian itu kalau kamu menduga aku akan terus-menerus teringat padanya, kamu
salah, Ra. Justru aku mencoba untuk mengikhlaskannya. Dengan siapapun dia
bersanding nanti, tak apa. Asalkan dia menjadi lebih baik, tanggung jawab
terlaksana, tak apa. Sebab bisa jadi dia bukan yang terbaik untukku dan aku
juga bukan yang terbaik untuknya. Kegagalan ini pasti menyimpan pesan yang
kelak akan lebih kupahami. Justru dengan kegagalan ini aku belajar satu hal,
mengakui kekurangan diri yang belum menyiapkan dengan matang langkah menuju
pernikahan.
Salam sayang,
Murai
Setelah membaca
suratnya sampai selesai aku ternganga. Mimpi apa dia memutuskan untuk menikah
secepat ini? Maksudku, kita seumuran. Dan aku masih menganggap ada banyak hal
yang perlu dicicipi, dijelajahi dan ditelusuri. Tapi menikah? Tidakkah kamu
terlalu terburu-buru, temanku?
Tapi yah tak
mungkin kubalas suratnya dengan pemikiranku tadi. Dia sedang berduka atau sudah
pulih? Sungguh aku tak tau harus merespon suratnya dengan apa. Sebaiknya kupikirkan
matang-matang dulu. Aku masih tak menyangka. Itu sepertinya ungkapan yang
tepat. Memutuskan untuk menikah tidaklah mudah. Ada banyak hal yang harus
dipersiapkan. Ilmu, mental dan juga kesiapan keuangan. Lagakku sudah seperti
orang yang menikah puluhan tahun saja.
Pada poin
kurangnya persiapan Murai, sepertinya aku setuju. Dia bertindak ceroboh. Tapi
pasti dari kejadian itu dia dapat memetik banyak pelajaran kurasa. Seperti
menambal apa saja yang kurang ketika proses perkenalan itu. Mungkin juga merumuskan
rencana ke depan lebih detail? Selepas menikah dia mau menjadi apa?
Pekerjaannya bagaimana? Dia mau membangun rumah tangga yang seperti apa? Heh,
kenapa aku jadi ikut memikirkan tentang situasinya? Sebentar, Murai berkenalan
melalui perantara atau bagaimana? Dia tidak menyebutkannya sama sekali di dalam
suratnya.
Oh iya, sejak
dulu aku hanya tau cara Islam mempertemukan laki-laki dan perempuan yang akan
berkenalan dengan tujuan menikah disebut taaruf. Secara teori aku paham. Tapi
sayangnya belum praktik. Entahlah, apa mungkin karena terlalu sibuk mengejar
karir atau membantu keluarga sampai-sampai persiapan ke arah sana belum
kupersiapkan. Wah, terima kasih Murai! Kamu menambah isi pikiranku!
“Pengalaman
pahit pasti selalu menyimpan pesan-pesan indah untuk perbaikan diri.” – Zara
-
Komentar
Posting Komentar