Awal yang sedikit terburu-buru sepertinya. Sebelumnya sudah saya rencanakan mau ngetik apa, tapi karena saya paksakan jadi agak nge-blank sedikit.
Kuliah, mungkin tidak semua orang bisa mendapat kesempatan ini. Tenang aja, saya gak bahas tentang kita tuh kudu bersyukur bisa kuliah jadi harus dimaksimilin dan teman-temannya. Nggak kok. Santai aja. Sebelumnya sempat saya bahas di postingan sebelum-sebelumnya, bahwa I’m Survivor of Scoliosis. Iya, saya mau pamer sedikit. Biar lebih santai, ijinkanlah saya menggunakan kata gue sebagai sudut pandang orang pertama, yah saya sendiri maksudnya. Hahaha.
Iya, jadi kenalin nih gue Anindia Safitri seorang cewek dengan scoliosis sebagai teman sepanjang masa. Lebay ya? Begitulah. Sewaktu awal-awal tau kalo ternyata gue punya tulang belakang yang sedikit berbeda, rasanya itu semua susunan proposal masa depan ambruk bin amburadul. Kecewa berat, sempat gak terima malah. Mau gimana lagi, namanya juga AMA (Anak Mantan Alay). Kondisi iman juga masih dangkal banget waktu itu. Nangis Bombay gak jelas. Dan sekarang, sudah 6 tahun berlalu sejak sadarnya gue dengan Skoli ini. Alhamdulilah, gue gak begitu sedih-sedih amat. Meratap apalagi, udah gak pernah. Berhubung sekarang gue gak lagi bawa motor, aktivitas gue di kampus sehari-hari menggunakan kendaraan cadangan bernama Kaki dan Sepatu. Sempat awalnya ngerasa agak kurang nyaman, karena dulu di SMK gue kemana-mana pake motor dan sekarang udah nggak lagi. Bahkan, gue sempat berprasangka yang jelek-jelek tentang pendapat temen-temen gue. Dasar.
Secara gak sengaja gue baca-baca tulisan Ust. Felix di sosmed, kurang lebih topik utamanya tentang nikmat yang Allah kasi buat kita. Entah berupa barang, kesehatan, kesempatan dan yang lain. Kali ini tentang barang kepunyaan. Seringkali, kita selalu menitikberatkan pada suatu barang yang tentu saja mempunyai nilai. Dan menganggapnya barang berharga. Dalam kasus gue, motor. Ustadznya bilang, kalau yang kita punya hilang atau sudah rusak atau sudah tidak miliki lagi seenggaknya kita udah pernah punya. Meskipun sekarang benda itu sudah tidak kita miliki kembali. Misalnya, temen gue yang dulu gak bawa motor, pas kuliah jadi bawa motor. Kebalikan dari gue. Untuk kasus ini, lagi-lagi gue dapat kayak semacam teguran di salah satu rubrik majalah ibu. Tentang kehidupan suami istri yang tetap langgeng sampai usia senja. Beliau ditanya tentang resep panjang umur. Jawaban beliau simple sekali, “Jangan iri dengan rezeki yang Allah berikan untuk orang lain”. DEG! Ya ampun, jadi selama ini gue ngiri terus sama rezeki yang Allah kasi buat temen gue.
Malu banget rasanya. Sejak saat itu, gue berusaha buang jauh-jauh perasaan ngiri itu. Dan Alhamdulillah sekarang, gue enjoy aja dengan kondisi begini. Gak gampang emang, kadang capek dan lapar itu mengundang pikiran negatif merasuki diri yang membuat kita mengutuki keadaan yang tidak sesuai dengan keinginan. Belum lagi kondisi gue yang skoliosis. Tapi, ternyata gak sesulit itu kok. Gue tau banyak banget larangan yang gue langgar selama ini. Misalnya, lari atau bawa barang berat, dan sebagainya. Butuh pengorbanan. Pas dijalani terasa berat, sesudahnya ringan-ringan aja kok. Karena udah gue hipnotis diri gue dengan bilang, “Skoliosis itu bukan hambatan. Tapi bagian dari tujuan.” Di awal mungkin terkesan melankolis sampe nangis segala, tapi itu bagian dari proses. Jangan pernah bosen menjalani proses. Gue juga kadang terombang-ambing kayak anak bebek kehilangan emaknya. Dan rasanya itu gak enak! Lebih pahit dari rasa pare dan daun papaya! Kalo udah gitu, gue diem dulu. Mikir. Sekarang gue udah sampe dimana nih? Rehat dulu sebentar. Coba introspeksi diri lagi. Baru nentuin jalan lagi.
Meski, gue skolioser, it cannot Stop me. Gue sama-sama punya kesempatan 24 jam setiap harinya dengan orang lain. Kalo gue putus asa hanya karena skoliosis, ini rasanya aneh. Setiap orang punya ujian yang berbeda, kapasitas emosi yang berbeda tapi sama dalam hal waktu. Kalo gak cepat-cepat menguasai diri, kitalah yang dibunuh waktu. Seharusnya kitalah yang menghidupi waktu tersebut dengan kegiatan bermanfaat.
Sekarang pun gue lagi bergelut dengan menanamkan kedisiplinan diri. Yang itu sungguh gak gampang. Tapi, lagi-lagi waktu kita setiap hari sama. Dan setiap orang punya batasan waktunya masing-masing. Sebelum menyesal, ayo bergerak! Siapa pun kamu disana dengan kondisi apa pun, kita masih punya kesempatan yang gak boleh disia-siakan saat ini juga!
Dengan adanya skoliosis ini gue pernah merasa bersyukur. Kalo gue gak sakit begini, kapan bisa bersyukur ya? Masih bisa jalan dan lari. Masih bisa haha hihi. Masih bisa melakukan banyak hal. Sabar dan syukur. Mudah sekali menyebutnya, mengetiknya, mengucapkannya. Implementasinya lain lagi. Tapi, tidak menutup kemungkinan bagi kita untuk mencobanya. Bila ditimpa musibah, ia bersabar. Bila diberi nikmat, ia bersyukur. Itulah mukmin. Semoga kita termasuk di dalamnya. Aamiin.
Kuliah, mungkin tidak semua orang bisa mendapat kesempatan ini. Tenang aja, saya gak bahas tentang kita tuh kudu bersyukur bisa kuliah jadi harus dimaksimilin dan teman-temannya. Nggak kok. Santai aja. Sebelumnya sempat saya bahas di postingan sebelum-sebelumnya, bahwa I’m Survivor of Scoliosis. Iya, saya mau pamer sedikit. Biar lebih santai, ijinkanlah saya menggunakan kata gue sebagai sudut pandang orang pertama, yah saya sendiri maksudnya. Hahaha.
Iya, jadi kenalin nih gue Anindia Safitri seorang cewek dengan scoliosis sebagai teman sepanjang masa. Lebay ya? Begitulah. Sewaktu awal-awal tau kalo ternyata gue punya tulang belakang yang sedikit berbeda, rasanya itu semua susunan proposal masa depan ambruk bin amburadul. Kecewa berat, sempat gak terima malah. Mau gimana lagi, namanya juga AMA (Anak Mantan Alay). Kondisi iman juga masih dangkal banget waktu itu. Nangis Bombay gak jelas. Dan sekarang, sudah 6 tahun berlalu sejak sadarnya gue dengan Skoli ini. Alhamdulilah, gue gak begitu sedih-sedih amat. Meratap apalagi, udah gak pernah. Berhubung sekarang gue gak lagi bawa motor, aktivitas gue di kampus sehari-hari menggunakan kendaraan cadangan bernama Kaki dan Sepatu. Sempat awalnya ngerasa agak kurang nyaman, karena dulu di SMK gue kemana-mana pake motor dan sekarang udah nggak lagi. Bahkan, gue sempat berprasangka yang jelek-jelek tentang pendapat temen-temen gue. Dasar.
Secara gak sengaja gue baca-baca tulisan Ust. Felix di sosmed, kurang lebih topik utamanya tentang nikmat yang Allah kasi buat kita. Entah berupa barang, kesehatan, kesempatan dan yang lain. Kali ini tentang barang kepunyaan. Seringkali, kita selalu menitikberatkan pada suatu barang yang tentu saja mempunyai nilai. Dan menganggapnya barang berharga. Dalam kasus gue, motor. Ustadznya bilang, kalau yang kita punya hilang atau sudah rusak atau sudah tidak miliki lagi seenggaknya kita udah pernah punya. Meskipun sekarang benda itu sudah tidak kita miliki kembali. Misalnya, temen gue yang dulu gak bawa motor, pas kuliah jadi bawa motor. Kebalikan dari gue. Untuk kasus ini, lagi-lagi gue dapat kayak semacam teguran di salah satu rubrik majalah ibu. Tentang kehidupan suami istri yang tetap langgeng sampai usia senja. Beliau ditanya tentang resep panjang umur. Jawaban beliau simple sekali, “Jangan iri dengan rezeki yang Allah berikan untuk orang lain”. DEG! Ya ampun, jadi selama ini gue ngiri terus sama rezeki yang Allah kasi buat temen gue.
Malu banget rasanya. Sejak saat itu, gue berusaha buang jauh-jauh perasaan ngiri itu. Dan Alhamdulillah sekarang, gue enjoy aja dengan kondisi begini. Gak gampang emang, kadang capek dan lapar itu mengundang pikiran negatif merasuki diri yang membuat kita mengutuki keadaan yang tidak sesuai dengan keinginan. Belum lagi kondisi gue yang skoliosis. Tapi, ternyata gak sesulit itu kok. Gue tau banyak banget larangan yang gue langgar selama ini. Misalnya, lari atau bawa barang berat, dan sebagainya. Butuh pengorbanan. Pas dijalani terasa berat, sesudahnya ringan-ringan aja kok. Karena udah gue hipnotis diri gue dengan bilang, “Skoliosis itu bukan hambatan. Tapi bagian dari tujuan.” Di awal mungkin terkesan melankolis sampe nangis segala, tapi itu bagian dari proses. Jangan pernah bosen menjalani proses. Gue juga kadang terombang-ambing kayak anak bebek kehilangan emaknya. Dan rasanya itu gak enak! Lebih pahit dari rasa pare dan daun papaya! Kalo udah gitu, gue diem dulu. Mikir. Sekarang gue udah sampe dimana nih? Rehat dulu sebentar. Coba introspeksi diri lagi. Baru nentuin jalan lagi.
Meski, gue skolioser, it cannot Stop me. Gue sama-sama punya kesempatan 24 jam setiap harinya dengan orang lain. Kalo gue putus asa hanya karena skoliosis, ini rasanya aneh. Setiap orang punya ujian yang berbeda, kapasitas emosi yang berbeda tapi sama dalam hal waktu. Kalo gak cepat-cepat menguasai diri, kitalah yang dibunuh waktu. Seharusnya kitalah yang menghidupi waktu tersebut dengan kegiatan bermanfaat.
Sekarang pun gue lagi bergelut dengan menanamkan kedisiplinan diri. Yang itu sungguh gak gampang. Tapi, lagi-lagi waktu kita setiap hari sama. Dan setiap orang punya batasan waktunya masing-masing. Sebelum menyesal, ayo bergerak! Siapa pun kamu disana dengan kondisi apa pun, kita masih punya kesempatan yang gak boleh disia-siakan saat ini juga!
Dengan adanya skoliosis ini gue pernah merasa bersyukur. Kalo gue gak sakit begini, kapan bisa bersyukur ya? Masih bisa jalan dan lari. Masih bisa haha hihi. Masih bisa melakukan banyak hal. Sabar dan syukur. Mudah sekali menyebutnya, mengetiknya, mengucapkannya. Implementasinya lain lagi. Tapi, tidak menutup kemungkinan bagi kita untuk mencobanya. Bila ditimpa musibah, ia bersabar. Bila diberi nikmat, ia bersyukur. Itulah mukmin. Semoga kita termasuk di dalamnya. Aamiin.
Komentar
Posting Komentar