Manisnya kehidupan akan sangat terasa ketika kita menysukuri nikmat yang telah ada bukan? Begitulah. Itu yang sedang ku coba rasakan beberapa hari terakhir ini. Dikarenakan wi-fi dan masih amatirnya aku dalam mengatur waktu ini. Semenjak memasuki bangku kuliah, banyak sekali hal yang berubah dalam pikiranku. Baru memahami hal-hal yang sudah berlalu. Walau ku akui itu sangat terlambat. Setidaknya dengan pemahaman akan pengalamanku di waktu yang lalu aku sadar untuk berusaha tidak mengulanginya lagi. Seperti mengapa dulu aku bersikeras mengajak teman-temanku untuk mengaji, namun tidak disertai dengan cara yang layak. Bahkan, berakhir dengan kemarahan seakan mereka membenciku karena tidak mau mengikuti apa yang telah kuajakkan pada mereka. Pengalaman-pengalaman itu, sungguh disayangkan. Dan menjadi titik loncat bagiku untuk pengalaman di masa datang.
Tidak hanya itu, segala hal yang sudah lama berlalu baru ku pahami ketika memandang dengan sudut pandang yang berbeda dan hati yang terbuka. Ya, terbuka menerima segala perbedaan. Betul-betul penyesalan yang ku alami ketika memahami kejadian di masa lalu. Apa boleh buat? Kesempatan yang ada sekarang hanya untuk memperbaiki apa yang telah terjadi, walau itu tidak mudah. Dan aku pun sedikit heran saat keadaan dimana seharusnya orang akan meluapkan amarahnya namun aku dapat bertahan dengannya. Seringkali aku merasa tidak lebih baik dari masa laluku sendiri. Saat-saat dimana, mengingat betapa rajinnya aku, beraninya aku, kuatnya aku dan banyak hal lainnya. Sehingga yang kutemukan saat ini, aku adalah orang yang tidak akan pernah sempurna. Bukannya memang manusia itu tidak sempurna. Begitulah. Akan tetapi, kata mbakku, “Kita memang tidak sempurna dengan adanya kesalahan- kesalahan itu, tapi kita dapat menjadikan diri kita untuk terus berbuat baik disamping melakukan kesalahan. ”
Saat ini, aku seperti ditampar dengan perkembangan yang selama ini kujalani, tapi dihancurkan oleh kesenangan semata. Aku merasa lebih baik dibandingkan dengan aku yang sekarang. Aku merasakan ada yang hilang. Entah apa itu, sebongkah kecil sesuatu yang begitu berharga dan sekarang telah hilang. Pengorbanan. Betul-betul dicampakkan rasanya raga ini ketika membaca sebuah buku berjudul, “Benarkah Aku Ini Sobat-mu?” Iya, aku telah menukarkan pengorbanan dengan kesenangan. Maksudnya bagaimana? Dengan banyaknya tugas kuliah yang menumpuk saat ini, aku sering mengorbankan waktu untuk meng-upgrade dan mendekatkan diri pada Rabb Semesta Alam. Itulah yang terjadi. Baru kusadari tentunya. Aku meluangkan waktu lebih banyak untuk menyelesaikan tugas-tugas itu dibandingkan menyeimbangkan keduanya.
Pantas saja, beberapa minggu belakangan aku merasakan diriku berisi namun kosong. Iya, karena yang diisi tidak dapat menempati ruang yang kosong. Sehingga pelan-pelan aku mulai terbawa arus. Banyak sekali bahkan, virus yang menjangkitiku. Kapitalisme, sekulerisme, dan isme-isme yang lain yang tanpa aku sadari telah menebarkan racunnya di pikiranku. Keinginan untuk tetap eksis di kelas, kemudian, aku harus merapikan diri agar dapat terlihat baik di mata teman yang lain. Untuk siapakah semua perbuatan itu ku lakukan? Agar terlihat oleh siapakah aku berbuat hal itu? Untuk siapa??? Manusia! Ya Rabb. Sungguh rendah sekali diri ini, ingin dipandang sempurna oleh makhluk-Mu, yang mereka juga tidak lain adalah makhluk yang jauh dari kesempurnaan juga. Apa yang kuperoleh dari mendapatkan pujian dari makhluk-Mu? Tidak ada. Itu hanya membuatku selalu haus terhadap pendapat manusia akan diriku. Bukan, pendapat-Mu. Begitulah aku ya Rabb… belakangan ini aku merasa kehilangaan sesuatu yang begitu kecil namun mempunyai bobot yang lebih besar dibandingkan dengan diriku sendiri. Ruh.
Tidak hanya itu, segala hal yang sudah lama berlalu baru ku pahami ketika memandang dengan sudut pandang yang berbeda dan hati yang terbuka. Ya, terbuka menerima segala perbedaan. Betul-betul penyesalan yang ku alami ketika memahami kejadian di masa lalu. Apa boleh buat? Kesempatan yang ada sekarang hanya untuk memperbaiki apa yang telah terjadi, walau itu tidak mudah. Dan aku pun sedikit heran saat keadaan dimana seharusnya orang akan meluapkan amarahnya namun aku dapat bertahan dengannya. Seringkali aku merasa tidak lebih baik dari masa laluku sendiri. Saat-saat dimana, mengingat betapa rajinnya aku, beraninya aku, kuatnya aku dan banyak hal lainnya. Sehingga yang kutemukan saat ini, aku adalah orang yang tidak akan pernah sempurna. Bukannya memang manusia itu tidak sempurna. Begitulah. Akan tetapi, kata mbakku, “Kita memang tidak sempurna dengan adanya kesalahan- kesalahan itu, tapi kita dapat menjadikan diri kita untuk terus berbuat baik disamping melakukan kesalahan. ”
Saat ini, aku seperti ditampar dengan perkembangan yang selama ini kujalani, tapi dihancurkan oleh kesenangan semata. Aku merasa lebih baik dibandingkan dengan aku yang sekarang. Aku merasakan ada yang hilang. Entah apa itu, sebongkah kecil sesuatu yang begitu berharga dan sekarang telah hilang. Pengorbanan. Betul-betul dicampakkan rasanya raga ini ketika membaca sebuah buku berjudul, “Benarkah Aku Ini Sobat-mu?” Iya, aku telah menukarkan pengorbanan dengan kesenangan. Maksudnya bagaimana? Dengan banyaknya tugas kuliah yang menumpuk saat ini, aku sering mengorbankan waktu untuk meng-upgrade dan mendekatkan diri pada Rabb Semesta Alam. Itulah yang terjadi. Baru kusadari tentunya. Aku meluangkan waktu lebih banyak untuk menyelesaikan tugas-tugas itu dibandingkan menyeimbangkan keduanya.
Pantas saja, beberapa minggu belakangan aku merasakan diriku berisi namun kosong. Iya, karena yang diisi tidak dapat menempati ruang yang kosong. Sehingga pelan-pelan aku mulai terbawa arus. Banyak sekali bahkan, virus yang menjangkitiku. Kapitalisme, sekulerisme, dan isme-isme yang lain yang tanpa aku sadari telah menebarkan racunnya di pikiranku. Keinginan untuk tetap eksis di kelas, kemudian, aku harus merapikan diri agar dapat terlihat baik di mata teman yang lain. Untuk siapakah semua perbuatan itu ku lakukan? Agar terlihat oleh siapakah aku berbuat hal itu? Untuk siapa??? Manusia! Ya Rabb. Sungguh rendah sekali diri ini, ingin dipandang sempurna oleh makhluk-Mu, yang mereka juga tidak lain adalah makhluk yang jauh dari kesempurnaan juga. Apa yang kuperoleh dari mendapatkan pujian dari makhluk-Mu? Tidak ada. Itu hanya membuatku selalu haus terhadap pendapat manusia akan diriku. Bukan, pendapat-Mu. Begitulah aku ya Rabb… belakangan ini aku merasa kehilangaan sesuatu yang begitu kecil namun mempunyai bobot yang lebih besar dibandingkan dengan diriku sendiri. Ruh.
Komentar
Posting Komentar