Sulit sekali rasanya mengekspresikan perasaan ya. Tindakan yang terpilih justru sebaliknya, tidak menampakkan melainkan memperlihatkan sebaliknya. Begitu yang sedang terjadi pada saya. Iya begitulah.
Sulit sekali memberitahukan bahwa raga ini sedang letih, sehingga jika ada kesalahan dalam kontak fisik justru amarahlah yang terlontarkan. Saya capek. Saya sedang capek. Tidak usah diganggu dulu, begitu perkataan dalam hati. Namun tidak terucapkan. Karena saya berharap agar dengan diamnya raga ini sembari berpura-pura membaca buku menandakan bahwa saya sedang melakukan sesuatu yang tidak untuk diganggu. Sederhana saja yang kebanyakan orang terkadang tidak memahaminya. Tentu saja, tidak ada pemberitahuan sebelumnya.
Kau tau? Sejujurnya aku marah pada diriku sendiri. Marah yang diakibatkan tidak bisa mengendalikan diri dalam mengatur emosi. Namun, selain itu aku juga marah padanya. Pada kakakku seorang itu. Tidakkah ia bisa berubah? Maksudku, sebentar lagi ia mencapai usia 20 tahun. Bukan angka yang kecil lagi bukan? Ia sudah tergolong dewasa bagi definisi orang-orang awam. Tapi, sesungguhnya perilakunya masih menandakan bahwa ia belum dewasa sama sekali dalam beberapa kondisi, begitu menurutku. Kuakui bahwa aku pun belum sedewasa itu. Belum bisa melakukan apa-apa saja yang sudah bisa dilakukan kakakku. Namun aku sedang mencoba, mencoba untuk bisa mengendalikan walau itu sulit sekali untuk dilakukan pada awalnya.
Kataku, setelah mengganti nomor ponsel aku akan menjadi orang yang lebih terbuka. Justru terasa semakin kikuk saja aku ini. Bahkan perasaan yang sekarang sulit untuk dikontrol bagiku adalah perasaan iri. Ujianku masih di sekitar perasaan atau bahasa Arabnya Gharizah Baqa' yang diartikan sebagai naluri mempertahankan diri.
Perasaan iri yang muncul ketika melihat seorang teman yang mempunyai apa yang tidak kupunyai. Mereka dapat membeli ini dan itu. Mereka memiliki ponsel-ponsel keren. Mereka ini dan itu. Tidak akan pernah habis kalimat-kalimat yang membuat perasaan ini semakin berkobar karena iri. Aku iri karena tidak bisa seperti mereka, yang mempunya ponsel keren serta bisa eksis di dunia maya. Aku iri dengan mereka yang dapat mempergunakan uang semau mereka tanpa harus cemas dengan kebutuhan lain yang harus dipenuhi. Aku iri. Aku sungguh iri.
Naluri ini memanas. Meminta untuk dipenuhi. Walau tidak dipenuhi pun tidak menimbullkan kematian. Karena ini hanya naluri. Namun, tetap saja! Aku ingin menangis. Kemudian mengadukannya pada Sang Maha Melihat, meski Dia tau apa yang sedang kurasakan. Aku tau solusi dari masalah perasaanku ini. Aku hanya ingin bisa didengar. Masalah perasaan ini bukan masalah sepele yang bisa diceritakan pada teman dekat kemudian selesai begitu saja. Tidak semudah itu. Ini membutuhkan pengobatan.
Dalam perjalanan pulang (lagi-lagi), dikarenakan jarak rumah dan sekolah yang agak jauh aku memikirkan kembali segalanya. Aku ini orang yang tidak bersyukur sama sekali! Aku hanya memikirkan apa yang tidak kupunyai. Namun, tidak pernah berpikir apa saja yang sudah kumiliki. Terlalu sering melihat ke atas, itulah aku. Terlalu ingin menyamai dengan orang-orang yang berada di atas. Sampai-sampai lupa, untuk melihat ke bawah. Orang-orang yang berada dibawah meski mereka juga ingin sekali untuk berada diatas namun mereka mensyukuri apa yang telah ada bagi mereka. Aku lupa. Lupa untuk melihat ke bawah dikarenakan terlalu berharap karena keinginan menggebu semata. Bukan karena kebutuhan yang nyata.
Astagfirullah...astagfirullah..
Karena bersyukur tidak dapat diajari orang lain, melainkan harus kita sendirilah yang terjun langsung untuk memahaminya.
Sulit sekali memberitahukan bahwa raga ini sedang letih, sehingga jika ada kesalahan dalam kontak fisik justru amarahlah yang terlontarkan. Saya capek. Saya sedang capek. Tidak usah diganggu dulu, begitu perkataan dalam hati. Namun tidak terucapkan. Karena saya berharap agar dengan diamnya raga ini sembari berpura-pura membaca buku menandakan bahwa saya sedang melakukan sesuatu yang tidak untuk diganggu. Sederhana saja yang kebanyakan orang terkadang tidak memahaminya. Tentu saja, tidak ada pemberitahuan sebelumnya.
Kau tau? Sejujurnya aku marah pada diriku sendiri. Marah yang diakibatkan tidak bisa mengendalikan diri dalam mengatur emosi. Namun, selain itu aku juga marah padanya. Pada kakakku seorang itu. Tidakkah ia bisa berubah? Maksudku, sebentar lagi ia mencapai usia 20 tahun. Bukan angka yang kecil lagi bukan? Ia sudah tergolong dewasa bagi definisi orang-orang awam. Tapi, sesungguhnya perilakunya masih menandakan bahwa ia belum dewasa sama sekali dalam beberapa kondisi, begitu menurutku. Kuakui bahwa aku pun belum sedewasa itu. Belum bisa melakukan apa-apa saja yang sudah bisa dilakukan kakakku. Namun aku sedang mencoba, mencoba untuk bisa mengendalikan walau itu sulit sekali untuk dilakukan pada awalnya.
Kataku, setelah mengganti nomor ponsel aku akan menjadi orang yang lebih terbuka. Justru terasa semakin kikuk saja aku ini. Bahkan perasaan yang sekarang sulit untuk dikontrol bagiku adalah perasaan iri. Ujianku masih di sekitar perasaan atau bahasa Arabnya Gharizah Baqa' yang diartikan sebagai naluri mempertahankan diri.
Perasaan iri yang muncul ketika melihat seorang teman yang mempunyai apa yang tidak kupunyai. Mereka dapat membeli ini dan itu. Mereka memiliki ponsel-ponsel keren. Mereka ini dan itu. Tidak akan pernah habis kalimat-kalimat yang membuat perasaan ini semakin berkobar karena iri. Aku iri karena tidak bisa seperti mereka, yang mempunya ponsel keren serta bisa eksis di dunia maya. Aku iri dengan mereka yang dapat mempergunakan uang semau mereka tanpa harus cemas dengan kebutuhan lain yang harus dipenuhi. Aku iri. Aku sungguh iri.
Naluri ini memanas. Meminta untuk dipenuhi. Walau tidak dipenuhi pun tidak menimbullkan kematian. Karena ini hanya naluri. Namun, tetap saja! Aku ingin menangis. Kemudian mengadukannya pada Sang Maha Melihat, meski Dia tau apa yang sedang kurasakan. Aku tau solusi dari masalah perasaanku ini. Aku hanya ingin bisa didengar. Masalah perasaan ini bukan masalah sepele yang bisa diceritakan pada teman dekat kemudian selesai begitu saja. Tidak semudah itu. Ini membutuhkan pengobatan.
Dalam perjalanan pulang (lagi-lagi), dikarenakan jarak rumah dan sekolah yang agak jauh aku memikirkan kembali segalanya. Aku ini orang yang tidak bersyukur sama sekali! Aku hanya memikirkan apa yang tidak kupunyai. Namun, tidak pernah berpikir apa saja yang sudah kumiliki. Terlalu sering melihat ke atas, itulah aku. Terlalu ingin menyamai dengan orang-orang yang berada di atas. Sampai-sampai lupa, untuk melihat ke bawah. Orang-orang yang berada dibawah meski mereka juga ingin sekali untuk berada diatas namun mereka mensyukuri apa yang telah ada bagi mereka. Aku lupa. Lupa untuk melihat ke bawah dikarenakan terlalu berharap karena keinginan menggebu semata. Bukan karena kebutuhan yang nyata.
Astagfirullah...astagfirullah..
Karena bersyukur tidak dapat diajari orang lain, melainkan harus kita sendirilah yang terjun langsung untuk memahaminya.
Komentar
Posting Komentar