Di sela-sela waktu yang
begitu terpadati oleh jadwal, disinilah saya. Mencuri-curi waktu untuk
menuliskan perasaan. Hahaha, ini puitis sekali. Karena terkadang meskipun tidak
menceritakan pada siapa pun hanya melalui tulisan saja, itu sudah cukup.
Sulit mengakui bahwa usaha
yang telah saya kerahkan masih belum cukup. Melihat yang lain lebih sukses
daripada saya, itu agak menyayat hati. Ya, ini namanya penyakit hati. Suka
merasa lebih baik daripada yang lain. Merasa lebih mampu dibanding yang lain. Merasa,
terasa, ini masalah perasaan. Perasaan abstrak yang muncul pada waktu tak
disangka-sangka pula. Seakan kuda liar perasaan ini, terkadang sulit sekali
untuk dikendalikan. Hanya ingin dituruti saja tanpa mau mengikuti peraturan.
Melihat keberhasilan atau
kemampuan orang lain saya kadang iri. Bahkan lebih parahnya lagi, saya
meremehkannya. Saya pasti bisa jauh lebih baik dari itu, pikir saya. Dan
tindakan yang terpilih adalah menjauh dari orang yang berhasil itu untuk
membuktikan bahwa saya juga bisa. Dan ternyata banyak sekali orang yang
berhasil. Apakah saya harus mengasingkan diri? Tidak ada tempat rupanya bagi
saya. Lambat laun, saya merasa tidak mempunyai apa-apa. Merasa saya terlalu
bodoh untuk melakukan atau menciptakan sesuatu pun.
Penyakit hati lebih
berbahaya daripada penyakit fisik. Tidak hanya hati yang dirusak, melainkan
fisik juga. Yang lebih menyeramkan lagi, terkadang penderitanya tidak tahu
bahwa ia sedang terkena penyakit hati. Ini harus hati-hati.
Pribadi nol saya
menyebutnya. Gagasan ini muncul pada saat perjalanan pulang. Seseorang tidak
lebih baik dari orang lainnya. Atau saya tidak lebih baik dari orang lain. Saya
tidak lebih pintar dari yang lain. Saya ini nol. Kenapa tidak lebih baik dari
orang lain? WHY? Karena standar seseorang melakukan sesuatu serta target
mencapainya berbeda dengan seseorang yang lainnya. Tidak sama. Tidak akan
pernah sama.
Nasihat ini hususnya untuk
diri saya sendiri. Namun, berbeda lagi dengan iri yang positif. Merasa saya harus
bisa lebih dari apa yang sudah dicapai orang lain dengan menggunakan
standar saya sendiri. Melihat seseorang lebih sholeh, membuat saya menjadi
terpacu untuk ikut sholeh juga. Memperbaiki diri, memperbanyak membaca dan
banyak lain. Ya, temen saya Azizah pernah sms bilang, "Teman itu ibarat
cermin bagi kita. Dapat memperlihatkan keburukan kita dan kebaikan orang
lain". Sesederhana itu. Begitu juga dengan perkataan Ust. Felix Siauw
mengenai nama anaknya. Shifr Muhammad Al Fatih 1435, begitu nama anak kedua
beliau. Shifr berarti nol dalam bahasa Arab. Beliau menamakan anaknya nol
karena hanya Allah-lah yang harus di-Esakan, dinomorsatukan. Jika seseorang
merasa mempunyai sesuatu yang dibanggakan akan menjauhkannya dari Allah. Dan
beliau berharap bahwa anaknya kelak akan menolkan dirinya dan meng-Esakan
Allah. Subhanallah.
Saya tidak lebih baik dari
siapa pun. That's for sure.
Menolkan diri membuat diri
menjadi lebih terbuka terhadap nasihat, saran maupun kritikan. Karena merasa
diri nol, tidak punya apa-apa sehingga bisa terus menerima hal-hal baik yang
datang, terlihat maupun diperlihatkan.
Astagfirullahaladzim. Harus
banyak-banyak beristighfar diri ini agar dijauhkan dari sifat takabur,
naudzubillah.
Komentar
Posting Komentar