Huh, curahan hati ini begitu banyak! Seringkali setiap menemukan suatu kesempatan, semua kisah berebutan untuk diceritakan. Dan karena saat ini si penulis blog menduduki kelas 3 SMK, semuanya terasa sangat padat. Entah dari jadwalnya, tugasnya, maupun kewajiban serta hak-haknya. Ini merupakan sesuatu yang sangat wajar bagi seseorang yang sudah bertambah umurnya. Bertambah pula beban serta tanggung jawabnya. Itulah yang sedang dirasakan oleh si penulis. Berat, capek, jenuh, bahkan terkadang suka mengeluh akan begitu banyaknya hal-hal yang harus diselesaikan dalam waktu 24 jam. Seakan waktu yang didapat kurang hingga hampir terasa tidak cukup.
Bahagia terasa ketika umur sudah mencapai 18 tahun. Aku sudah menempuh 18 tahun perjalanan kehidupan. Jalan yang dilalui penuh onak duri, bahkan sering tersasar oleh banyaknya tanda jalan yang menipu. Kurasakan bangga memenuhi diri. Namun, tidak lama setelah itu kurasakan beban yang akan kupikul. Tidak akan pernah berkurang beban yang datang, melainkan selalu bertambah. Begitulah perjalanannya. Tidak ada waktu untuk bersantai. Karena disini bukan untuk bersenang-senang.
Banyaknya buku serta beratnya ransel yang selalu terbawa tak terasa mulai menggerogoti. Ingin ku berteriak, "Aku capek!" "Lelah dengan semua ini!" "Bisakah aku berhenti pada tahap ini?" Dan banyak sekali kalimat yang terlontar akibat dari kerapuhannya punggung ini dalam memikul beban. Ingin melampiaskannya, namun pada siapa? Tidak ada sosok yang bersalah disini. Hanya aku si pemikul yang salah. Waktu yang begitu banyak terlewatkan tanpa hal-hal berguna dilakukan. Keletihan yang tidak seberapa menghambat kewajiban selanjutnya. Melebih-lebihkan rasa lelah sampai-sampai lupa harus melaksanakan apa yang seharusnya dilakukan. Terlena oleh segala keluhan. Menciptakan rasa malas sebagai bentuk pemberontakan dari kurangnya waktu istirahat. Itu yang terjadi padaku.
Pada satu waktu, benar-benar lelah hati, pikiran serta punggung ini. Tidak dapat kubendung, tercurah begitu saja linangan air mata ini. Mengeluhkan segalanya, pada Sang Maha Mendengar. Karena belum kutemukan seorang yang cocok untuk mengadukannya. Setelahnya, kusadari. Aku hanya ingin mengadu. Betapa beratnya beban ini. Hanya mengadu saja. Ingin didengar walau ku tahu Dia Maha Mendengar tanpa perlu kukatakan langsung pada-Nya. Tetap saja, mengatakan semuanya yang memberatkan menyisakan perasaan lega dan menyesal. Malasnya diri ini dalam mensyukuri segala nikmat yang telah diterima tanpa pernah membayarnya.
Semua yang telah dilalui terasa tidak seberat ketika sedang menjalaninya. Itukah yang sedang terjadi? Aku sedang berada pada proses? Lalu bisakah kupertanggungjawabkan perasaan bangga ketika mencapai usia 18 tahun, namun segera runtuh ketika ujian datang? Sudah pantaskah aku menginjak 18 tahun ini? Ternyata belum. Apa yang kubanggakan hanyalah apa yang kurasa terlihat pada diriku. Bukan apa yang sebenarnya terlihat.
Seringkali semua masalah, semua kegiatan, semua urusanku dan semua-semua lainnya kuhadapi dan selesaikan sendiri. Sungguh terlalu memandang tinggi diri. Dari sini kudapati, terlalu memaksakan diri serta sombong diri ini. Aku tidak akan pernah bisa menghadang angin kencang sendirian. Aku butuh mereka. Keluargaku, saudara seimanku serta sahabatku. Berjalan sendiri bisa jadi, tujuan yang kuinginkan cepat tercapai. Namun aku sendiri. Bila hambatan menghalang ku harus mencari bantuan karena tak mungkin bisa kuselesaikan sendiri. Sedangkan dengan bersama-sama, tujuan yang dicapai bisa lebih jauh walau lambat. Kami menolong satu sama lain, menguatkan, mengingatkan serta menyebarkan kepada yang lainnya. Yang ini lebih kokoh dari seorang diri yang menerjang angin.
Berjamaahlah agar lebih kuat serta menguatkan. Tak lupa tetap saling menghormati jika perbedaan ditemukan. Jangan lupa untuk terus mempersiapkan diri menempuh jalan kedepan bersama teman. Faktanya, beban tidak akan berkurang. Melainkan terus bertambah.
Selamat Berjuang! Uhibbukum Fillah!
Bahagia terasa ketika umur sudah mencapai 18 tahun. Aku sudah menempuh 18 tahun perjalanan kehidupan. Jalan yang dilalui penuh onak duri, bahkan sering tersasar oleh banyaknya tanda jalan yang menipu. Kurasakan bangga memenuhi diri. Namun, tidak lama setelah itu kurasakan beban yang akan kupikul. Tidak akan pernah berkurang beban yang datang, melainkan selalu bertambah. Begitulah perjalanannya. Tidak ada waktu untuk bersantai. Karena disini bukan untuk bersenang-senang.
Banyaknya buku serta beratnya ransel yang selalu terbawa tak terasa mulai menggerogoti. Ingin ku berteriak, "Aku capek!" "Lelah dengan semua ini!" "Bisakah aku berhenti pada tahap ini?" Dan banyak sekali kalimat yang terlontar akibat dari kerapuhannya punggung ini dalam memikul beban. Ingin melampiaskannya, namun pada siapa? Tidak ada sosok yang bersalah disini. Hanya aku si pemikul yang salah. Waktu yang begitu banyak terlewatkan tanpa hal-hal berguna dilakukan. Keletihan yang tidak seberapa menghambat kewajiban selanjutnya. Melebih-lebihkan rasa lelah sampai-sampai lupa harus melaksanakan apa yang seharusnya dilakukan. Terlena oleh segala keluhan. Menciptakan rasa malas sebagai bentuk pemberontakan dari kurangnya waktu istirahat. Itu yang terjadi padaku.
Pada satu waktu, benar-benar lelah hati, pikiran serta punggung ini. Tidak dapat kubendung, tercurah begitu saja linangan air mata ini. Mengeluhkan segalanya, pada Sang Maha Mendengar. Karena belum kutemukan seorang yang cocok untuk mengadukannya. Setelahnya, kusadari. Aku hanya ingin mengadu. Betapa beratnya beban ini. Hanya mengadu saja. Ingin didengar walau ku tahu Dia Maha Mendengar tanpa perlu kukatakan langsung pada-Nya. Tetap saja, mengatakan semuanya yang memberatkan menyisakan perasaan lega dan menyesal. Malasnya diri ini dalam mensyukuri segala nikmat yang telah diterima tanpa pernah membayarnya.
Semua yang telah dilalui terasa tidak seberat ketika sedang menjalaninya. Itukah yang sedang terjadi? Aku sedang berada pada proses? Lalu bisakah kupertanggungjawabkan perasaan bangga ketika mencapai usia 18 tahun, namun segera runtuh ketika ujian datang? Sudah pantaskah aku menginjak 18 tahun ini? Ternyata belum. Apa yang kubanggakan hanyalah apa yang kurasa terlihat pada diriku. Bukan apa yang sebenarnya terlihat.
Seringkali semua masalah, semua kegiatan, semua urusanku dan semua-semua lainnya kuhadapi dan selesaikan sendiri. Sungguh terlalu memandang tinggi diri. Dari sini kudapati, terlalu memaksakan diri serta sombong diri ini. Aku tidak akan pernah bisa menghadang angin kencang sendirian. Aku butuh mereka. Keluargaku, saudara seimanku serta sahabatku. Berjalan sendiri bisa jadi, tujuan yang kuinginkan cepat tercapai. Namun aku sendiri. Bila hambatan menghalang ku harus mencari bantuan karena tak mungkin bisa kuselesaikan sendiri. Sedangkan dengan bersama-sama, tujuan yang dicapai bisa lebih jauh walau lambat. Kami menolong satu sama lain, menguatkan, mengingatkan serta menyebarkan kepada yang lainnya. Yang ini lebih kokoh dari seorang diri yang menerjang angin.
Berjamaahlah agar lebih kuat serta menguatkan. Tak lupa tetap saling menghormati jika perbedaan ditemukan. Jangan lupa untuk terus mempersiapkan diri menempuh jalan kedepan bersama teman. Faktanya, beban tidak akan berkurang. Melainkan terus bertambah.
Selamat Berjuang! Uhibbukum Fillah!
Komentar
Posting Komentar