Peringatan!
Tulisan kali ini bersifat personal, kemungkinan akan membosankan.
Ada satu sifat diri yang lagi-lagi saya sadari ternyata harus dihadapi. Tidak suka konflik. Setiap ada konflik secara naluri saya bertindak sebagai penengah, tidak ingin terjadi perpecahan, kekacauan maupun perselisihan. Bila bukan penengah biasanya saya besarkan toleransi, dan berupaya untuk memasang prasangka baik.
Makin kesini, konflik tidak selalu bisa dihindari ataupun diredam. Karena baru saja saya mengalami konflik. Konflik yang memaksa saya untuk kembali menulis demi mengembalikan kewarasan agar bisa menjalankan aktivitas yang seharusnya dilakukan.
Menjadi seperempat abad lebih lagi-lagi tanpa sadar menjadikan saya lupa bagaimana betapa labilnya usia di bawah itu dalam menyikapi berbagai hal. Saya lupa bagaimana caranya menguatkan hati yang rapuh, menyegarkan kembali hati yang layu, menasihati atau bahkan menegur sosok yang terjerumus. Saya lupa. Dan justru memosisikan diri sebagai algojo yang siap menghukum siapa saja yang melanggar apa yang saya pahami. Tentu saja itu kurang tepat.
Yang menjadikan saya menuliskan hal ini adalah saya tidak akan selamanya bisa menghindari konflik. Ada saat dimana saya sendiri yang harus menyiapkan diri menghadapi konflik itu. Konflik kali ini saya agak sulit membahasakannya. Bagaimana ya, ketika ada kekeliruan saya tidak bisa membenarkan atau memberikan toleransi. Yang seharusnya saya lakukan adalah menggali sebab kekeliruan itu dilakukan.
Saya berusaha untuk menyampaikan bahwa kekeliruan itu seharusnya tidak dilakukan dengan mulus disertai bercanda. Dan ada momen dimana, perkataan berusaha-menghindari-konflik-itu justru bagi lawan bicara saya menyakiti dia dan terjadilah konflik.
Sadarlah. Tidak semua akan berjalan mulus termasuk menghadapi konflik ini. Sempat ada sekelebat bisikan, terjadi biarlah terjadi. Entah ini pembenaran atau tidak, tapi nasihat tidak hanya disampaikan dengan lembut. Sesekali juga perlu tajam agar mencambuk hati yang lalai.
___
Pesan untuk diri saya, perbanyaklah membaca hikmah-ibrah dan merenung. Saya harus selalu mengisi diri dan juga mengisi orang lain dengan energi. Tidak lain energi terkuat itu bersumber dari al Quran dan juga pembahasannya. Berkontemplasi itu perlu dilakukan sesekali untuk mendengar apa yang tidak terdengar sebab hiruk pikuk di dalam dan luar kepala.
Komentar
Posting Komentar