Kerja memang keras
1
Juli 2017
Temanku
curhat pagi ini. Dia sedang mempersiapkan diri untuk resign pada hari
pertamanya bekerja. Kok? Awalnya aku bingung sekaligus kaget. Orang
macam apa yang mengundurkan diri di hari pertamanya masuk? Ya, ternyata orang macam kayak dia. Semalam dia sudah dapat nasihat dari
mbaknya. Nasihat yang dia minta. Kata dia, sebut saja temanku ini namanya Sisi,
sebenarnya niat dia ngelamar kerja kemarin itu karena ada iuran ratusan ribu
yang harus dia bayarkan dalam waktu 8 bulan. Dengan status pelajar yang
disandangnya plus tidak bekerja, Sisi kebingungan. Bagaimana caranya dia bisa
dapat uang segitu banyak? Jangankan dia, aku saja bakal pusing tujuh keliling!
Akhirnya berdasarkan info dari temannya, Sisi ketemu lowongan pekerjaan yang
sesuai sama keterampilannya, berupa desain. Terus setelah ngelewatin semacam
tes juga wawancara, Sisi diterima. Sisi nggak nyangka sama sekali, karena ada
pelamar sebelum dia yang tidak diterima. Sisi cerita padaku, “Sudah terbayang
nanti aku kerja paruh waktu dan setiap akhir bulan dapet pesangon.” “Lumayan
buat lunasin iuran. Dan bulan depannya gajinya bisa dipakai untuk menambah
koleksi buku-buku islami,” tambahnya. Aku ikut senang mendengarnya.
Dan
beberapa hari sebelum masuk kerja, Sisi yang awalnya bersemangat dan sudah
membayangkan tugas desain mendadak ragu. Seminggu setelah Lebaran dia dapat THR
dari pamannya. Terus lagi dia dapat bantuan dana dari sekolah. Dan (lagi) dapat
THR dari pamannya yang lain. Kalau ditotalin, kata Sisi, lunas semua iurannya.
Dan memang setelah diatur-atur sisa iuran yang harus Sisi lunasi tingal belasan
ribu karena uangnya dipakai untuk keperluan yang lain. Alhamdulillah, aku ikut
bersyukur Sisi bisa melewati itu. Dan tinggal satu lagi. Niat awalnya untuk
bekerja itu ya untuk melunasi iuran saja. Nggak ada yang lain. “Dan setelah
iuran bisa dikatakan 95% lunas, terus bagaimana sama kontrak kerjaku, Lin? Apa
aku tetap harus mengikuti kontrak atau bagaimana?” begitu tutur Sisi. Aku diam
untuk mendengarkannya melanjutkan cerita.
“Perasaan
nggak tenang dan gelisah melandaku 3 hari sebelum masuk kerja, Lin. Sementara
mbakku belum kasi nasihat apa-apa.” Kata Sisi padaku, nadanya sedih. “Akhirnya
aku beranikan diri untuk meminta agar nasihat itu dipercepat datangnya. Nggak
nyangka, Lin! Mbakku malah minta maaf karena dia kurang gesit mencari solusi.”
Matanya yang semula sedih seketika berbinar. “Dan hari itu juga, malamnya
mbakku menghubungiku lewat WA.” lanjutnya. “Sebelum nelpon, mbakku minta solusi
ke bibiku tentang persoalanku.” Jadi berantai ya keputusan itu. Nggak heran,
ada orang kayak dia. Solusi nggak dipikirkannya sendiri, melainkan meminta
tambahan dari orang lain yang nggak cuma satu.
Aku
agak heran, apa sih yang melandari keputusan itu selain iuran yang sudah hampir
terlunasi? Jawaban Sisi mengejutkanku. “Niatku bekerja cuma itu, Lin. Dan kalau
dipikir-pikir lagi, aku kesulitan membagi waktu kalau bekerja penuh 7 hari
dalam seminggu. Dan semua aktivitas bergantung sama niat untuk apa
melakukannya. Untuk menguatkanku, mbakku tanya lagi, ‘Selain iuran, ada lagi
keperluan mendesakmu, dik?’ Ya nggak ada mbak, kataku.” Jawab Sisi. Aku cuma
menatapnya, diam. “Terus juga, kewajibanku nggak cuma sekolah, Lin. Ada sharing
Islam ke teman-teman. Bagi-bagi ilmu itu nggak kalah penting. Sebelumnya pak
bos juga pernah nanya, bagaimana sama sekolahku nanti. Dengan mantap aku bilang
bisa membagi waktu. Pikiranku bilang bisa. Dan setelah mikir lagi kalau
misalkan aku jadi ngambil pekerjaan itu. Sepulang sekolah aku langsung ke
tempat kerja, malam baru pulang. Besoknya sekolah lagi. Belum lagi kalau ada
tugas. Begitu terus. Kapan aku bisa sharing sama teman-teman, sama kamu juga? Sepertinya
nggak bisa.” Jelasnya panjang lebar.
“Apa kamu nggak tergiur sama banyaknya uang
yang bakal kamu dapet nanti kalau kerja, Si?” Aku masih penasaran. “Ya,
tergiurlah. Namanya juga manusia yang punya naluri memiliki. Tadi kan aku
sempat ngebayangin bagaimana pas kerja nanti, sambil sekolah pula terus dapet
uang dari hasil keringat sendiri. Ada perasaan mandiri dan bangga, Lin.” Kalau
aku di posisinya pun mungkin aku tergerak memilih bekerja karena memikirkan
penghasilannya. “Tapi waktu yang kupunya cuma 24 jam. Terbatas. Harus dipilih
mana yang benar-benar penting untuk aku lakukan. Bagi ilmu itu wajib, sedangkan
kerja bagiku sebagai perempuan itu mubah atau boleh. Dan keadaanku sekarang nggak
ada hal mendesak, jadi kewajiban tetap menjadi prioritas utama.” Hmm, pikiranku
belum sampai kesana. Wah, dapet ilmu baru lagi ini! Kulihat Sisi menghela nafas berat. Sepertinya
aku tahu apa yang menyebabkan helaan nafas itu begitu berat. Keluarga Sisi
mempunyai rumah dengan status tetap, tapi belum lunas cicilannya. Pekerjaan itu
penting baginya tapi belum menduduki posisi darurat dan juga karena waktu
bekerja yang sangat menyita. Belum lagi uang SPP setiap bulan harus dibayarkan
dengan jumlah yang nggak sedikit. Pernah di salah satu semester Sisi belum
bayar sama sekali. Rapornya hampir tertahan, tapi kemudian diberikan wali
kelas. Aku nggak tahu bagaimana rasanya jadi dia. Ada beban besar tapi tidak
dia perlihatkan. Karena matanya memandang jauh ke depan. Ke tempat yang mata
belum pernah melihatnya.
Nasihat
buatku seluruh ceritanya itu.
“Setiap keputusan benar-benar harus dipikirkan masak-masak. Jangan sampai
terlihat matang tapi di dalamnya masih mentah. Harus matang benar-benar.” -Dianolin
Komentar
Posting Komentar