Sudah beberapa
kali saya menolak untuk membuat tulisan berjenis curhatan dikarenakan beberapa
alasan. Pertama, curhatan itu dianggap tulisan ringan dan tidak berbobot.
Awalnya saya berpikir seperti itu. Kedua, curhatan biasanya berisi aib penulis
itu sendiri. Saya sempat bertanya apa iya saya selalu mengumbar kesalahan yang
pernah saya buat ke orang lain? Ketiga, saya mau coba mencari gaya menulis yang
berbeda. Menurut saya, gaya curhat itu sudah biasa bahkan sedang kekinian saat
ini. Juga pembuatannya mudah, menuliskan apa yang pernah terjadi pada kita.
Tapi
alasan-alasan saya diatas itu pun dapat saya bantah sendiri. Karena yang buat
alasan juga saya kan? Haha. Gaya curhat memang terkesan mudah dan sederhana.
Tapi jangan salah, tidak semua orang bisa menuliskan apa yang dia pikirkan dan
rasakan begitu mudah. Penyaluran segala pemikiran dan perasaan itu pun butuh
metode dan kebiasaan menulis. Kemudian, tentang mengumbar aib. Di sini mungkin
koreksi untuk saya pribadi agar membedakan tulisan untuk dipublikasikan atau
tidak. Sebisa mungkin untuk tulisan yang dipublikasi saya memilih pengalaman
hidup yang kira-kira bisa dipahami walaupun orang yang membaca belum pernah
mengalami. Bahkan kali ini saya akan membuat tulisan sejenis ‘curhat’ tapi
berganti gaya menjadi catatan perjalanan harian. Lebih terlihat profesional
kan? Ini namanya trik pemberian judul.
Mungkin itu saja
prolognya.
Hari Sabtu
tanggal 6 Mei 17 saya ditelpon Ika – dia salah satu teman dekat saya sampai
saat ini, ternyata dia dan Dina berniat untuk mampir ke rumah. Niat itu saya
terima dengan tangan terbuka sangat lebar. Aktivitas yang tidak padat seperti
saat ada perkuliahan membuat saya terkesan ‘nggak ada kerjaan’, meski kerjaan
rumah nggak pernah ada habisnya. Sebelum bersiap menyambut mereka, saya mencoba
untuk menyelesaikan permainan logika yang ada di ponsel saya. Karena sudah
kadung berada di tengah jalan dan memang levelnya sudah menantang. Saya nggak
bisa menahan diri untuk nggak selesaikan permainan itu dulu. Maklum pengisi
kesibukan. Permainannya bernama Tatami dan saya ada di level 10. Kesulitan
dengan angka-angka yang dimasukkan lewat ponsel, saya putuskan untuk
mengerjakannya secara manual. Dengan kembali berurusan dengan penggaris saya
membuat kotak dengan jumlah 9x9 beserta angka petunjuk yang diberikan. Stres?
Tentu saja. Sebab bila melihat waktu yang telah saya habiskan untuk level itu
sudah mencapai 30 menit lebih! Itu memecahkan rekor saya sebelumnya, dimana
waktu terbanyak yang saya gunakan 30 menit. Seharusnya lebih cepat lebih baik
dan diusahakan nggak pakai bantuan sama sekali. Jadi benar-benar murni otak
yang kerja sendiri. Setelah bergelut cukup lama, akhirnya level itu
tertaklukkan dan saya mulai bersiap.
Ika dan Dina
sudah datang. Ternyata Ika dapat tugas dari dosennya yang mengharuskannya untuk
mewawancarai orang HTI perihal dalil yang digunakan untuk menegakkan Khilafah.
Isu ini memang sedang kekinian. Bahkan bukan isu sama sekali, melainkan inilah
kewajiban terbesar yang belum dilakukan sampai saat ini. Maka dengan pemahaman
yang saya miliki, saya berusaha untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan Ika. Saya
akui kalau saya masih dalam tahap pembelajaran sehingga lafal dalam bahasa Arab
banyak yang terlupa, kemudian dalil yang harus dihafal belum terhafal oleh
saya. Kesempatan itu saya namakan ‘tamparan tak terlihat’. Setelah cukup
berdiskusi, kami bertiga memutuskan untuk jalan-jalan ke Islamic Center (IC) dimana
terdapat Masjid Hubul Wathan yang terkendal dengan kemegahannya. Saat di
perjalanan pun saya sempat diskusi ‘lagi’ sama Ika tentang hal yang pernah dia
diskusikan ke saya sewaktu perjalanan ke pulau Gili Air. Hal itu mengenai sudut
pandang Plato yang mempunyai pendapat bagaimana cara manusia berpikir. Atau
lebih tepatnya proses manusia berpikir yakni dengan cara refleksi seperti pada
cermin. Akan tetapi pandangan tersebut dibantah oleh syaikh Taqiyyuddin An
Nabhani. Syaikh Taqiy mengoreksi bahwa manusia berpikir tidak seperti
terpantulnya objek pada cermin disebabkan adanya komponen tambahan lainnya.
Komponen tersebut adalah adanya otak sebagai pengait antara fakta yang terindra
dengan informasi tentang fakta tersebut. Contoh, asumsi saya tidak tahu sama
sekali tentang Drawer 3D (teknologi Virtual Reality). Terus, Ika minta
saya untuk mengambilkan Drawer 3D yang dia punya di kamarnya. Apa yang bakal
saya kasih ke Ika? Besar kemungkinan saya bakal tanya lagi ke Ika apa itu
Drawer 3D dan bagaimana bentuk rupanya. Karena saya tidak punya informasi apa
pun tentang Drawer 3D, apabila saya lihat Drawer 3D itu saya nggak bakal tahu
kalau itu alat yang Ika minta. Rada serius-seru bahas hal-hal kayak begitu.
Karena kepala dipakai untuk mikir, hehe.
Sebentar lagi
sampai ke IC. Saat di lampu merah, kami mendapat tatapan kesal dari pengendara
lain karena berniat belok kiri tapi tidak bergerak dari awal mencari posisi
kiri jalan sehingga menyebabkan kemacetan kecil. Kesalnya udahan dong dek?!
Anak SMA dengan baju pramuka melihat judes ke arah kami. Saya berusaha nggak
ambil pusing walau dalam hati agak deg-degan juga.
Setelah nomor
parkir kendaraan dikaitkan di masing-masing motor, kami bergegas memasuki
halaman masjid Hubul Wathan. Luas memang. Dan masih perlu perawatan yang bagus,
pikir saya sewaktu melihat kondisi halaman dan lantai masjid yang terdapat
jejak kaki sendal. Dina sudah siap dengan ponsel Ika untuk jeprat-jepret.
Masing-masing kami memiliki perkembangan rupanya. Ika yang sekarang ini lebih
kritis pemikirannya walau landasan kritisnya pun masih belum jelas. Dina yang
keluar dari zona diamnya, bahkan dia lebih atraktif kayaknya. Saya yang menjadi
lebih apa ya? Silakan nilai sendiri dan maafkan penilaian sepihak yang saya
buat untuk kedua orang terbaik itu. Dengan masuknya kami ke dalam masjid
dimulailah penjelajahan kami pada masjid itu. Ukurannya yang terlihat dari luar
memang sangat besar, apalagi bila melihat bagian dalamnya. Saya belum mampu
mendeskripsikannya secara jelas karena saya baru pertama kali memasukinya.
Mungkin dipikirnya saya ini ndeso banget, bisa jadi. Setiap kali ke
masjid saya selalu dalam keadaan haid jadi tidak bisa masuk sampai ke dalam.
Disitu saya merasa sedih.
Dimulai pada
tangga pertama yang kami naiki menuju lantai 2. Tangganya saja banyak betul,
mungkin setara dengan tangga di kampus ke lantai 3. Hamparan karpet merah
tempat jamaah shalat membuat saya terpukau. Terpesona dan ter-ter yang lain.
Luas sekali dengan desain interior yang megah membuat saya manusia yang berada
di sana menjadi kecil. Merasa kecil lebih tepatnya. Kecil dibandingkan dengan
segala kekuasaan yang Allah miliki dan merasa kecil terhadap segala kenikmatan
yang Allah berikan. Kecil. Benar-benar kecil itu yang saya rasakan. Maka
mulailah kami mengambil gambar bagian dalam masjid dan tentunya gambar kami
juga.
Tidak puas di
lantai 2, kami melanjutkan sampai ke lantai 3. Karena memang belum dioperasikan
secara penuh, banyak ruangan yang kami masuki tidak digunakan bahkan agak
terabaikan. Dengan kondisi seperti itu di kepala kami secara otomatis
terbayangkan hal-hal mistis. Koridor kecil dengan dinding pada bagian kiri atau
kanan (tergantung arah jalan) dibuat dari kaca menjadi tempat bagus untuk
berfoto. Terlihat elegan soalnya. Namun, suasana yang sepi meskipun lampu
menyala menciptakan kesan elegan horor ala rumah-rumah hantu. Kesan itu jadi
poin plus untuk foto yang kami ambil.
Masih kami
lanjutkan sampai ke lantai selanjutnya, tapi sayang sekali pintu yang mengarah
ke bagian kubah masjid terkunci. Membuat kami tidak bisa keluar dan berdiam di
situ sebentar. Ada sebuah pintu lain yang dikunci dan Ika bilang itu merupakan
pintu yang terhubung ke bagian luar kubah. Karena penasaran Ika minta saya
untuk foto bagian bawah pintu untuk melihat apa memang benar-benar ada tangga
di pintu itu. Awalnya saya ragu karena takut nanti ada gambar yang Kau-Tahu-Apa
tertangkap kamera ponsel. Tapi saya beranikan diri karena rasa penasaran.
Giliran saya berani justru Ika melarang saya untuk ambil gambar. Nggak saya
hiraukan, saya tetap ambil gambar. Setelah selesai yang tertangkap justru
sarang laba-laba yang menandakan pintu itu sudah lama sekali tidak dibuka.
Karena sudah tidak bisa apa-apa lagi, kami bertiga turun ke lantai 2.
Menghabiskan sisa waktu di sana untuk mengambil beberapa gambar lagi.
Nggak terasa
ternyata jam sudah menunjukkan waktu shalat ashar sebentar lagi dimulai. Bahkan
sudah mulai ngaji-ngaji. Saat keluar dari masjid saya lihat ada bedug besar.
Saya pukul pelan dan bedug itu berbunyi. Iyalah. Dina mendapat inspirasi untuk
mengambil pose kami yang seakan mau memukul bedug. Jadi fotonya duet antara
saya sama Ika. Kalau Dina dia sendirian. Sudah capek ketawa-ketawa Ika
memutuskan untuk pulang ke rumahnya sekalian mengisi tenaga alias makan. Saya
yang jarang dapat kesempatan untuk shalat di masjid pun berpikir ‘ayolah sekali
ini saja’. Saya yang biasanya suka menahan keinginan kali ini memberanikan
untuk mengutarakan keinginan saya. Ika setuju. Tapi saya sadar posisi Ika lagi
lapar. Dan kalau saya di posisi itu pikiran pasti nggak tenang. Akhirnya saya
dan Dina beli camilan untuk ganjal perut dan ngaso di tangga halaman
masjid. Seru memang. Aci dicolok sebungkus ditambah susu kedelai jadi menu
camilan. Dina aslinya nggak begitu suka susu kedelai, terasa kayak tepung
katanya. Saya mangut-mangut membenarkan. Tapi toh sudah dibeli ya tinggal
dihabiskan saja, pendapat saya. Ika sama sekali nggak ada komentar. Bahkan dia
kasi Dina motivasi untuk menghabiskan susu kedelai. “Jangan dipikirin, tinggal
glek-glek aja, Tal”, begitu sugestinya. Saat bagian saya sudah habis, saya dikatai
profesional sama Ika. Pro maksudnya bisa menghabiskan segala macam makanan dan
minuman. Asem memang. Dina hampir muntah saat menghabiskan susu. Ika pun
menawarkan air putih. Tak berapa lama Dina berhasil menyelesaikan ‘tantangan
susu kedelai’. Justru Ika yang bener-bener mau muntahin susu itu. Saya sindir
dia yang sudah kasi Dina motivasi anehnya dia yang nggak nenggak susu. Meski
sudah dikasi semangat Ika tetap nggak bisa habisin. Daripada anak orang
kenapa-kenapa saya nggak mau maksa. Selesainya kita buang sampah dan bergegas
ke dalam masjid untuk shalat.
Selesai shalat
Ika melihat salah seorang guru fisika SMK kami dulu. Meski agak enggan, saya
tetap mengikuti saran Ika untuk menyalami beliau. Ternyata kami masih dikenal
ibunya. Beliau nggak nyangka jurusan kuliah kami benar-benar berbeda dari
jurusan saat SMK dulu. Begitulah bu. Kemudian kita cabut ke rumah Ika. Dina
sudah ada janji sama teman kampusnya untuk mampir sebentar. Tersisalah saya dan
Ika untuk membuat makanan. Mie dan tempe goreng tepung menunya mengingatkan
saya akan masa-masa SMK dulu. Lucu. Saat mie sudah matang Dina belum juga
balik. Saya telpon dulu baru dia mau balik. Nggak tahan tunggu Dina, kita makan
duluan. Terlihat siapa yang kelaparan. Akhirnya Dina datang juga dan kita sudah
selesai makan. Sambilan dia makan, kita juga makan (lagi). Teman kampusnya Dina
buat bubur kacang ijo dan pintarnya Dina dia bawakan bubur itu untuk kita.
Hahaha.
Selesailah
penjelajahan tidak terencana pada hari itu.
Sabtu, 6 Mei 2017
Komentar
Posting Komentar