Menulis itu untuk saya pribadi, seperti melihat cerminan diri dalam suatu wadah. Apa yang sudah dituliskan kemudian dibaca kembali, kadang-kadang membuat terkejut! Sosok saya ternyata berpikiran seperti ini dan itu. Bukan bermaksud sombong, cuma takabur aja... Tidak hanya itu, menulis bisa jadi kegiatan menyegarkan ketika kepala dan hati terasa kering oleh kata-kata. Banyak hal dan banyak persepsi tentang menulis. Bagi saya, menulis adalah tempat dimana saya tidak ingin ditemui secara fisik, namun isi kepala sayalah yang akan ditemui.
Tapi, ada yang membuat saya miris akhir-akhir ini. Tentang perasaan dan juga pemikiran. Maaf sebelumnya kalau pembahasan saya bolak-balik. Ini semacam kesalahan. Seharusnya kalau ide sudah melintas harus saya catat dan diupayakan untuk dikerjakan di lain waktu. Setidaknya saya sudah tahu akan mengetik tentang apa. Saat ini saya cuma mengingat kata kuncinya tanpa mengingat alur pembahasannya. Intinya tentang perasaan dan pemikiran yang tidak menyatu. Berawal dari saya yang nggak punya temen cerita. Beberapa saat kemudian, terbersit ide untuk sms salah satu teman. Dan lumayan, saya sedikit mendapat pencerahan.
Teman itu cukup pendiam, bila dilihat secara umum. Maklum, saya mantan stalker suka liat-liatin orang, perhatiin gerak-geriknya dan sebagainya. Dia tentunya perempuan dong! Mungkin kalau dibandingkan dengan saya, ibarat bawang merah dan bawang bombay. Fokus-fokus. Efek habis baca bukunya Wirda Mansur nih, kebawa-bawa aksennya dia yang rada gokil. Yap, jadi nama dia itu Siana. Pendiaaam sekali. Tapi, itu kalo belum kenal. Kalo sudah akrab, keluar deh sisi dia yang nggak pernah ditemukan di tempat lain. Fokusnya bukan disitu. Tanpa sadar, saya tersandung, terlilit, dan tertancapi paku di kaki tanpa pernah saya sadari. Sakit? Nggak kerasa. Karena saya pake obat penghilang rasa sakit. Duh, sulit sekali nulis di paragraf ini.
Setelah dilihat-lihat, diraba dan diterawang, kerasa sekali kalau sekarang perasaan dan pikiran bener-bener dipisahkan. Untuk masalah-masalah yang berkaitan dengan ibadah itu paling cepet banget berdampak di masyarakat. Misalnya, perbedaan baca doa qunut pas subuh. Ada yang baca ada yang nggak. Atau pas shalat, punggung tangan terlihat dipeributkan. Beda halnya dengan pembelian sepeda motor dengan cara leasing, dibiarkan aja. Usaha MLM (Multi Level Marketing) nggak apa-apa. Atau bahkan lebih besar lagi, sumber daya alam milik umum diperjualbelikan untuk asing. Dan banyak lagi. Tapi, apa? Kita rasakan perbedaannya? Nggak sama sekali tuh. Perasaan kita Islami bila berkaitan langsung dengan embel-embel Islamnya, seperti ibadah tadi. Tapi, bila dikaitkan dengan fakta sekarang, sangat jauh dari Islam apa kita merasa jengah? Belum tentu. Bagaimana mau gelisah, merasakan yang seharusnya dijengahi aja nggak.
Itu masih berada di dalam negeri. Memikirkannya aja bikin kepala mumet, apalagi mau mikirin apa yang sedang terjadi di luar negeri? Nggak bermaksud menyindir kok. Ini teguran buat saya juga. Saya cuma bisa nangis melihat fakta banyak adek-adek saya di luaran sana kelaparan, tertembaki, tidurnya nggak nyaman setiap malam, penuh dihantui rasa takut dan cemas akan peluru-peluru yang berjatuhan, tidak ada perasaan aman dari apa pun itu. CUMA NANGIS. Selebihnya, saya tetep aja nonton film-film, ketawa-ketiwi, baca novel, kuliah sekedarnya. Nggak ada yang berubah! Kenapa? Karena cuma perasaan saya aja yang simpati dengan kondisi adek-adek disana. Tapi, pikiran saya tidak terbentuk untuk melakukan sesuatu untuk menghentikan apa yang menyebabkan adek-adek saya diperlakukan seperti itu. Sudah merasa cukup dengan makan 3 kali sehari. Mencukupi diri hanya dengan membaca buku yang isinya ngademin hati. Saya sudah baik, ya udah nggak ada urusan lagi dengan orang lain....
Pikiran semacam ini berbahaya loh. Karena kita cuma fokus sama diri sendiri aja, tanpa memperhatikan sekitaran kita. Efek individualisme itu keras banget. Tujuan-tujuan kita tidak pernah memikirkan orang lain. Ini dari sisi pikiran. Perasaan tadi yang udah tersentuh sama gambar-gambar bahkan video tentang apa yang dirasakan adek-adek disana, cuma mampir. Nggak membekas. Bagaikan debu yang dihempas angin, dijatuhi air hujan. Hilang! Nggak sadar, perasaan dan perasaan kita udah terpisah sejak lama. Temen-temen kita yang terlibat dengan pergaulan bebas, kita nggak bisa apa-apa selain merasa kasihan atau sedih dengan apa yang terjadi sama mereka. Kita nggak bisa berbuat apa-apa. Itu menurut kita. Plus ini nggak ada hubungannya sama tujuan-tujuan yang akan kita raih. Ini diluar kendali kita kok. Banyak dalih yang kita keluarkan. Tanpa sadar.
Kita masih bisa berupaya untuk memperbaiki keadaan loh! Gimana caranya? Yuk ngaji~ ^^
Kok ngaji?! Ngaji bukan cuma sekedar baca Iqra' atau mempelajari hukum bacaan. Tapi, lebih dari itu. Kita mempelajari Islam dari akar sampai daunnya. Tentang apa yang sebenarnya terjadi dan solusi apa yang tepat untuk kita lakukan. Duilee, sok pinter banget deh... Eh, tapi serius. Merasakan nikmatnya ngaji itu more than anything! Coba deh. Kalo nggak tau mau ngaji dimana, komen aja. Ntar saya rekomendasiin. Insya Allah bener ^-^
Tapi, ada yang membuat saya miris akhir-akhir ini. Tentang perasaan dan juga pemikiran. Maaf sebelumnya kalau pembahasan saya bolak-balik. Ini semacam kesalahan. Seharusnya kalau ide sudah melintas harus saya catat dan diupayakan untuk dikerjakan di lain waktu. Setidaknya saya sudah tahu akan mengetik tentang apa. Saat ini saya cuma mengingat kata kuncinya tanpa mengingat alur pembahasannya. Intinya tentang perasaan dan pemikiran yang tidak menyatu. Berawal dari saya yang nggak punya temen cerita. Beberapa saat kemudian, terbersit ide untuk sms salah satu teman. Dan lumayan, saya sedikit mendapat pencerahan.
Teman itu cukup pendiam, bila dilihat secara umum. Maklum, saya mantan stalker suka liat-liatin orang, perhatiin gerak-geriknya dan sebagainya. Dia tentunya perempuan dong! Mungkin kalau dibandingkan dengan saya, ibarat bawang merah dan bawang bombay. Fokus-fokus. Efek habis baca bukunya Wirda Mansur nih, kebawa-bawa aksennya dia yang rada gokil. Yap, jadi nama dia itu Siana. Pendiaaam sekali. Tapi, itu kalo belum kenal. Kalo sudah akrab, keluar deh sisi dia yang nggak pernah ditemukan di tempat lain. Fokusnya bukan disitu. Tanpa sadar, saya tersandung, terlilit, dan tertancapi paku di kaki tanpa pernah saya sadari. Sakit? Nggak kerasa. Karena saya pake obat penghilang rasa sakit. Duh, sulit sekali nulis di paragraf ini.
Setelah dilihat-lihat, diraba dan diterawang, kerasa sekali kalau sekarang perasaan dan pikiran bener-bener dipisahkan. Untuk masalah-masalah yang berkaitan dengan ibadah itu paling cepet banget berdampak di masyarakat. Misalnya, perbedaan baca doa qunut pas subuh. Ada yang baca ada yang nggak. Atau pas shalat, punggung tangan terlihat dipeributkan. Beda halnya dengan pembelian sepeda motor dengan cara leasing, dibiarkan aja. Usaha MLM (Multi Level Marketing) nggak apa-apa. Atau bahkan lebih besar lagi, sumber daya alam milik umum diperjualbelikan untuk asing. Dan banyak lagi. Tapi, apa? Kita rasakan perbedaannya? Nggak sama sekali tuh. Perasaan kita Islami bila berkaitan langsung dengan embel-embel Islamnya, seperti ibadah tadi. Tapi, bila dikaitkan dengan fakta sekarang, sangat jauh dari Islam apa kita merasa jengah? Belum tentu. Bagaimana mau gelisah, merasakan yang seharusnya dijengahi aja nggak.
Itu masih berada di dalam negeri. Memikirkannya aja bikin kepala mumet, apalagi mau mikirin apa yang sedang terjadi di luar negeri? Nggak bermaksud menyindir kok. Ini teguran buat saya juga. Saya cuma bisa nangis melihat fakta banyak adek-adek saya di luaran sana kelaparan, tertembaki, tidurnya nggak nyaman setiap malam, penuh dihantui rasa takut dan cemas akan peluru-peluru yang berjatuhan, tidak ada perasaan aman dari apa pun itu. CUMA NANGIS. Selebihnya, saya tetep aja nonton film-film, ketawa-ketiwi, baca novel, kuliah sekedarnya. Nggak ada yang berubah! Kenapa? Karena cuma perasaan saya aja yang simpati dengan kondisi adek-adek disana. Tapi, pikiran saya tidak terbentuk untuk melakukan sesuatu untuk menghentikan apa yang menyebabkan adek-adek saya diperlakukan seperti itu. Sudah merasa cukup dengan makan 3 kali sehari. Mencukupi diri hanya dengan membaca buku yang isinya ngademin hati. Saya sudah baik, ya udah nggak ada urusan lagi dengan orang lain....
Pikiran semacam ini berbahaya loh. Karena kita cuma fokus sama diri sendiri aja, tanpa memperhatikan sekitaran kita. Efek individualisme itu keras banget. Tujuan-tujuan kita tidak pernah memikirkan orang lain. Ini dari sisi pikiran. Perasaan tadi yang udah tersentuh sama gambar-gambar bahkan video tentang apa yang dirasakan adek-adek disana, cuma mampir. Nggak membekas. Bagaikan debu yang dihempas angin, dijatuhi air hujan. Hilang! Nggak sadar, perasaan dan perasaan kita udah terpisah sejak lama. Temen-temen kita yang terlibat dengan pergaulan bebas, kita nggak bisa apa-apa selain merasa kasihan atau sedih dengan apa yang terjadi sama mereka. Kita nggak bisa berbuat apa-apa. Itu menurut kita. Plus ini nggak ada hubungannya sama tujuan-tujuan yang akan kita raih. Ini diluar kendali kita kok. Banyak dalih yang kita keluarkan. Tanpa sadar.
Kita masih bisa berupaya untuk memperbaiki keadaan loh! Gimana caranya? Yuk ngaji~ ^^
Kok ngaji?! Ngaji bukan cuma sekedar baca Iqra' atau mempelajari hukum bacaan. Tapi, lebih dari itu. Kita mempelajari Islam dari akar sampai daunnya. Tentang apa yang sebenarnya terjadi dan solusi apa yang tepat untuk kita lakukan. Duilee, sok pinter banget deh... Eh, tapi serius. Merasakan nikmatnya ngaji itu more than anything! Coba deh. Kalo nggak tau mau ngaji dimana, komen aja. Ntar saya rekomendasiin. Insya Allah bener ^-^
Adik Anindia ...
BalasHapusIzin copas gambar Yuk Ngaji nya ya.....
Trimakasih