Ada buku yang menarik perhatian saya. Judulnya mirip dengan judul film, tapi beda. The
Chronicles of Ghazi. Dari dulu saya udah tau tentang buku ini. Kesempatan
untuk membacanya itu yang belum-belum dapat. Menceritakan sebuah sejarah yang
ditorehkan dengan tinta emas dan darah. Buku ini berserial. Tapi bukan
tetralogi. Karena harus dibaca dari buku yang pertama, kalau nggak bakal
kehilangan alur ceritanya.
Sosok pertama yang saya kagumi dari buku ini adalah Sultan
Bayazid. Beliau dijuluki dengan sebutan Yildirim yang berarti kilat.
Disebabkan kemampuan beliau menggunakan pedang sangat lihai dan sungguh cepat
seperti kilat. Belum lagi strategi yang beliau gunakan saat menaklukan
Dobrogea, membantu pengamanan wilayah Nicopolis dari tentara salib, dan lain-lain.
Bukan tentang Bayazid aja, karena menurut saya semua orang sama aja. Yang
membedakan masing-masing orang itu cuma takwa. Terlebih ketika futuhat [1]
dilakukan pada wilayah Serbia, Bulgaria, dan Bosnia harus ditebus dengan
syahidnya ayah dan adik beliau.
Orang macam mana
lagi yang akan rela mengorbankan nyawanya untuk kejayaan Islam selain muslim
itu sendiri? Gila memang. Apalagi bila dilihat dari sudut pandang perasaan.
Sungguh tidak manusiawi jihad itu! Akan tetapi, itulah perintah Allah. Sebelum
ditaklukan pemimpin wilayah kafir tersebut diberi surat yang tertera di
dalamnya 3 opsi untuk dipilih. Pertama, mengajak masyarakat untuk beriman.
Masuk ke dalam Islam. Kedua, bila menolak opsi pertama, maka diserukan kepada
mereka untuk bergabung ke dalam wilayah kekuasaan Islam, yakni Khilafah tanpa
memaksa mereka untuk masuk Islam. Akan dikenai jizyah setiap tahun yang
dikenakan kepada laki-laki dari yang mampu. Ketiga, bila menolak opsi 1 dan 2,
maka itulah pernyataan perang dari kaum kafir kepada kaum muslim. Tidak hanya
itu perang begitu saja tentunya. Ada adab peperangan yang meliputi, tidak
menyerang kaum perempuan, anak-anak dan orang tua renta, serta selain prajurit
tidak boleh disentuh sedikit pun. Kemudian, fasilitas umum yang ada di wilayah
itu juga tidak boleh semena-mena dihancurkan. Yang menjadi lawan kaum muslim
saat perang hanya tentara musuh aja.
Subhanallah! Gak
kebayang hal itu di jaman sekarang. Buktinya, Palestina dibombardir tanpa
menggunakan adab. Rumah sakit, sekolah, dan fasum lainnya dihancurkan. Belum
lagi, korban anak-anak yang tidak bersalah berjatuhan. Tentu saja, karena tidak
menggunakan aturan dalam Islam hal itu terjadi. Benar-benar seperti dongeng!
Tapi sungguh nyata! Itu pernah terjadi. Dan insyaa Allah akan terulang kembali
sejarah itu.
Sultan Murad (bapaknya Bayazid) tersenyum. “Kita bukan
berperang karena jumlah pasukan, tapi karena janji Allah. Telah berkali-kali
terjadi bahwa pasukan yang lebih sedikit mampu mengalahkan yang lebih banyak
dengan pertolongan Allah. Di dada setiap prajurit kita, api jihad berkobar
besar karena mengharap kemenangan dari Allah. Sementara orang kafir itu
kehilangan semangatnya karena tahu, kalau mati, mereka tak akan mendapatkan
apa-apa. Dengan membagi pasukan seperti ini, kita akan mendapatkan dua
kemenangan sekaligus. Kita akan membuka Serbia dan Bulgaria.” (cuplikan buku
Ghazi #1)
Ya Allah, menusuk
sanubari pernyataan itu. Jihad itu perintah Allah. Sampai cita-cita muslim dulu
ada dua. Mati syahid di medan perang atau hidup mulia dengan aturan Islam.
Jihad sesungguhnya adalah pembebasan yang dilakukan kepada manusia dari
penyembahan terhadap sesamanya atau bahkan berhala kepada Allah. Satu-satunya Ilah.
“Kami datang untuk membebaskan manusia dari
penyembahan kepada sesame manusia, menuju penyembahan hanya kepada Allah,
Tuhannya manusia. Dan hanya kepada Allah saja. Kami datang untuk mengubah
penindasan manusia menjadi keadilan Islam.” Ini kata Rabi’ah ibn Amir, seorang mujahidin, ketika menghadap Kaisar
Persia untuk menyampaikan surat dakwah Rasulullah.
Merinding,
subhanallah! Apa yang dilihat tentara muslim itu, yang membuat mereka rela
berjuang habis-habisan di medan perang. Yang menjadi pertanyaan saya, kita dan
mereka sama-sama muslim. Yang membedakan hanya zaman aja, tapi kenapa perbedaan
ini begitu besar? Tidak terlalu nampak, seseorang yang begitu teguh dengan
imannya memperjuangkan agama Allah ini. Apalagi sampai mau berkorban nyawa
untuk menegakkan kalimat Laa
ilahaillah Muhammad Rasulullah. Sederhana
saja, negaranya mendukung kekuatan iman seorang muslim ini dengan lingkungan
yang pastinya Islami. Dan di buku Ghazi ini bertepatan dengan masa kekhilafahan
Utsmani. Yakni negara Islam pada masa keturunan Utsmani atau Utsman
yakni pendiri Kesultanan Ustmani.
Bisa dilihat dari
karakter-karakter muslim yang digambarkan dengan jelas pada buku Ghazi. Sultan
Bayazid (favorit saya) yang selalu mendekatkan dirinya pada Allah, Tuhan
semesta alam. Dengan dzikir yang merdu dan syahdu. Bahkan ketika melihat
rakyatnya di Oryahovo dibantai secara kejam oleh tentara Kristendom,
beliau menangis. Bukan menangis karena melihat kematian rakyatnya, akan tetapi
pertanggungjawaban yang diberikan di pundak beliau atas kesejahteraan
rakyatnya. Beliau mengatakan, “Apa yang mesti kukatakan kepada Allah? Aku tak
mampu melindungi rakyatku sendiri.” Bayazid merenggut dadanya, wajahnya
menunduk penuh penyesalan. “Aku harus bilang apa kepada Allah???” (merinding).
Itu sedikit
cuplikannya. Mau tau lebih banyak? Beli aja bukunya. Kalau belum ada dana,
pinjam ke teman yang sudah punya. Kayak saya yang juga pinjam punya teman,
huehehe.
Sosok-sosok
seperti itu tidak luput pula dari pengasuhan seorang ibu yang baik dan
sholihah. Buku Ghazi ini tidak hanya untuk menguatkan azzam bagi kaum muslimin yang
berusaha memantaskan diri dalam menaklukkan Roma, akan tetapi buku ini
juga dapat menjadi cerminan bagi kaum muslimah untuk terus belajar serta
mendekatkan diri pada Allah agar dapat melahirkan generasi Ghazi seperti yang
pernah diungkapkan dalam sejarah. Jangan pernah takut untuk terus memperbaiki
diri. Walau harus jatuh berkali-kali, karena hidup cuma sekali jadikanlah itu
sebagai kesempatan langka yang hanya datang saat ini! Allahu Akbar!
Sederhana
sebenarnya, tapi dampaknya itulah yang membuat penyebab perbedaan ini tidak
sederhana. Ketika Islam hanya dipandang sebagai agama ritual kerohanian.
Menghilangkan aspek-aspek lain yang juga diatur oleh Islam. Membedakan
kehidupan saat beribadah dengan aktivitas harian. Perbedaan yang sungguh
menyakitkan, bila diperhatikan. Ini yang membuat saya sedikit kecewa. Agama
yang tidak diyakini pemeluknya dengan sepenuhnya.
Komentar
Posting Komentar