Zara POV
Gimana ya kabar Murai sekarang? Lagi-lagi karena kesibukan kami jarang bertukar kabar. Biasalah, usia segini sudah sibuk dengan kegiatan masing-masing. Aku sibuk dengan mengajar, Murai sibuk dengan rencananya. Karena sampai sekarang aku belum pernah menanyakan aktivitas dia sehari-hari apa saja.
Kali ini entah kenapa surat dari Murai begitu kutunggu. Mungkin dia ada cerita baru. Hitung-hitung jadi tambahan informasi dan pengalaman. Dan benar saja, ada email baru darinya!
Ra, gimana hari ini? Kalau kamu ingin menumpahkan isi kepalamu yang berisik itu, feel free untuk mengirimnya padaku. Akan ku baca.
Kalau kamu dekat, Ra, bisa jadi akan ku ajak ke pantai. Kita beli air kelapa dan duduk di pasir berdua. Bercerita sepuasnya. Berteriak dan menangis sekencang-kencangnya juga boleh.
Jangan sungkan. Cerita aja.
___
Ra, ada sesuatu lagi yang ingin ku ceritakan padamu. Sebenarnya nggak ada maksud untuk disembunyikan juga sih. Hanya saja menurutku, belum perlu untuk kamu tahu di awal perkenalan dan sekarang sepertinya perlu.
Aku ada sakit, Ra. Pernah dengar tentang Skoliosis? Itu dia yang ada padaku sekarang. Kelainan tulang belakang yang menjadikan tulang tampak melengkung atau bengkok. Dan karena usiaku sudah lebih dari 22 tahun, masa pertumbuhan tulang sudah berhenti.
Beberapa waktu ini ada yang menggangguku. Komentar ibu. Aku yakin ibuku pasti ingin yang terbaik untukku. Bukankah kebanyakan ibu-ibu begitu, Ra? Hanya saja kali ini terasa seperti tekanan. Aku tidak menyalahkan ibu sama sekali. Hanya menyuarakan isi hatiku.
Karena lelah didesak untuk ikut yoga dan ada hal lain juga yang membuatku ragu. Seperi misalnya, ada beberapa gerakan workout ternyata tidak baik untuk kondisiku. Lelah dengan semua keraguan dan ketidaktahuan, akhirnya aku memberanikan diri ke rumah sakit, Ra. Mau tidak mau merujuk kepada yang lebih paham tentang tulang, yaitu dokter ortopedi.
Sebenarnya sejak akhir tahun 2022 sudah ku niatkan agar awal tahun 2023 untuk cek ke dokter. Dan ya, alhamdulillah aku berangkat sendiri. Jangan tanya kenapa. Ibuku tidak begitu menyukai rumah sakit. Lagi pula siapa yang suka? Kakakku sibuk, apalagi ayahku.
Sayang seribu sayang, Ra! Aku tidak puas dengan penjelasan dokter. Dan yeah, aku kena omel haha. Masih terekam jelas perkataan dokter, "Kenapa baru cek sekarang mbak?" Dengan cengengesan aku menjawab, "Iya, dok karena mau nikah."
Sebenarnya arti mau disitu berupa niat bukan berarti sudah ada orang untuk diajak nikah.
Justru penjelasan lebih kudapatkan dari dokter fisioterapi. Lengkap dapatnya. Seperti bagaimana hubungannya dengan kesuburan atau saat mengandung nanti. Saat bersalin juga dijelaskan.
Syukurnya, jenis skoliosisku bukan rotasi atau tulangnya berputar, hanya melengkug tidak sesuai rel aja haha. Kalau kasusnya rotasi, ruang gerak bayi saat mengandung akan sempit, Ra. Dan skoliosis dengan derajat 40 sepertiku tidak bisa bersalin dengan normal alias operasi.
Aku insecure sehabis dari dokter, Ra. Ada tidak ya laki-laki yang mau menerima kondisi fisikku yang begini? Aku nggak pede, Ra.
Tapi apa daya memang sudah begini. Tidak ada hal lain selain menerima dan mengupayakan agar fisikku tidak semakin memburuk. Solusi dari dokter Ortopedi adalah menggunakan brace, alat penyangga badan untuk memperbaiki postur tubuhku. Sekalipun tidak akan mengurangi jumlah derajat, setidaknya dapat mencegah bertambahnya derajat kelengkungan tulang.
Sekitar tiga minggu setelah pencetakan badanku, brace-nya jadi. Sebelum jadi aku melatih diri memakai korset agar tidak kaget saat memakai brace. Dan ya memang menyesakkan. Bayangkan aja, Ra! Badan yang biasanya bebas lalu harus mengenakan cetakan. Hidup memang ada aja kejutannya.
Agak lama menuliskan surat ini ke kamu, Ra. Karena berisi banyak potongan pengalamanku selama setahun lebih beberapa bulan. Bahkan menuju 2 tahun 3 bulan lagi.
Menjadi gadis cetakan, aku sudah menerimanya, Ra. Dan ada yang sedikit mengganjal hatiku. Perkara ibu yang menolak untuk meyakini bahwa tulang yang melengkung tidak bisa lurus kembali. Meskipun dioperasi, tidak bisa sampai 0 derajat. Tak jarang aku beradu pendapat sama ibu, Ra. Ibu bahkan marah kalau mendengar aku mengatakan hal itu, soal tulang yang tidak bisa lurus kembali. Karena ibu meyakini tidak ada yang tidak mungkin atas izin Allah. Jadi yakin aja sama Allah.
Aku tidak menyalahkan ibu dengan pemikirannya. Hanya saja aku ingin sedikit ruang untuk diterima. Ruang untuk tidak disalahkan. Ruang untuk tidak dibandingkan. Berdamai dengan diriku sendiri juga butuh waktu.
Kumohon. Jangankan ibu, aku pun ingin menata ulang harapan dan masa depanku. Dulu aku ingin memiliki banyak anak, misalnya. Haha. Aku tahu ini terdengar muluk-muluk sekali, Ra. Aku sudah merasakan rasanya berdua bersaudara. Sepi ketika beranjak dewasa. Karena itu aku ingin punya banyak anak. Kurang lebih 5 lah. Hahaha.
Pasca memakai brace, aku tersadar, Ra. Gimana ceritanya mau punya anak lima sedangkan kondisiku begini? Belum lagi setelah membaca seputar operasi sesar. Badan perempuan sanggup melahirkan sampai 3 kali dengan operasi. Lebih dari itu butuh pemeriksaan lebih lanjut sebab ada kondisi yang perlu dipertimbangkan. Seperti organ sekitar perut yang lengket menjadikan operasi keempat beresiko.
Aku terdiam, Ra. Seberapa pun idealnya masa depan yang kita inginkan dan kita rancang, kita harus mengingat bahwa Allah juga punya rencana untuk kita. Jujur saja, sehabis membaca persoalan operasi sesar membuatku cukup terkejut. Lalu dengan santainya akalku berpikir, "Kalau maksimal sesar adalah 3 kali dan targetku punya 5 anak. Maka harus ada yang kembar."
RA. SIAPA AKU YANG MENGATUR-ATUR JUMLAH ANAK DENGAN KONDISI BADANKU SEPERTI INI? SIAPA AKU, RA?!
Lucu sekali. Aku lupa diri. Statusku hanya seorang hamba. Setelah itu, entah kenapa aku tidak lagi berminat memikirkan jumlah anak. Bukan pasrah. Tapi lebih kepada menerima. Berapa saja yang Allah kasi, aku terima. Bahkan mungkin saja aku mati lebih dulu daripada menikah. Pahit. Tapi kemungkinan itu ada. Dan sudah selayaknya kuterima.
Salam rindu,
Murai
Komentar
Posting Komentar